Roman Satria Tiara ( Edisi Revisi )
RomanCinta #KisahCinta #Cinta #Roman #Satria #RomanSatriaTiara #RomeodanJuliet #LaylaMajnun #Sastra #NobelSastra
Prolog
CintaNya Cahaya Yang Menerangi
Hati yang tercerahkan oleh cahaya Cinta, lebih berharga daripada semua kilau permata di dunia.
Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit . Dan Tak seorang pun dapat mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh Cinta.
Semua ‘kekuatan ajaib” -ada dan tercipta karena dorongan Cinta.
Betapa seorang induk ayam akan bertarung mati-matian dengan rubah demi mempertahankan kelangsungan hidup anaknya.
Betapa ruang waktupun takluk dalam genggaman cinta, pernahkah kau rasakan ketika kekasih berada disisi?. Satu hari berpisah dalam Cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun bersama Kekasih terasa hanya sehari.
Perjalanan ribuan kaki terasa hanya beberapa kaki, dan beberapa kaki terasa ribuan kaki tanpa kehadiran-Nya..
Dalam kesadaran Cinta. bentuk Cinta yang paling hakiki adalah Cinta kepada-Nya sebagai bentuk total penyerahan diri terhadap Sang Penggenggam Hidup, sedang cinta pada insan dan alam semesta menciptakan keadaan surgawi- apabila berlandaskan Cinta ; menjadi kabut duniawi bila menjelma hasrat nafsu.
Aku tak pernah tahu seberapa kerasnya hati ini, apakah sekeras baja?….bila ya,maka aku akan mengharap api cinta melelehkannya hingga ku dapat membentuk dan menjadikannya kembali dingin.
Bila hatiku selembut lilin yang mudah meleleh ketika tersentuh api maka kuyakin dengan sumbu yang ideal,maka kudapat mempertahankan nyalanya hingga habis terbakar……Ataukah hatiku seperti kertas? Menyala dengan cepat lalu menjadi asap sekejap.
Dalam keheningan ini, kuingin kau tahu bahwa Cinta-Nya pada kita laksana bara api yang saling terkait , yang terangnya adalah cahaya atas cahaya. Bila api cinta ini menyala, maka Sang Terkasih akan menerangi jalan dan kegelapanpun lenyap.
Mungkinkah kita dapat mempertahankan api cinta kita, untuk tetap menyatu dalam cahaya keterpisahan-Nya?….
Kala jiwa terbangun dalam keterjagaan malam, Pernahkah jiwa bertanya : “Mengapa tiba-tiba hati ini selembut kapas?!”,….”Sihir macam apakah yang melemahkan kemudaan dari bahu dan mematahkannya hingga hancur berkeping-keping?!”…
Tolaklah kenyataan ini, maka retaklah cermin itu, bukankah merupakan kesia-siaan belaka, seumpama wajah rupawan berkaca pada cermin yang retak ?. Dan Bagiku jiwa yg resah…. dapatkah jiwa memandang diri sebelum memandang orang lain?!…..dan dapatkah kau bangkit dari kematianmu sebelum kau menuju pada kematian yang sesungguhnya?!”……
Rahasia setiap pencapaian dalam setiap agama dan mistisme adalah Cinta. Konon tanpa Cinta sang pencari akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu kesadaran.
Laksana “mata ketiga”, pesan telepati yg disampaikan kepada kekasih menghadirkan bunga-bunga Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta, semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang Dia yang dicintainya.
Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangan-Nya yang tertutup oleh pandangannya.
Cintanya sendiri adalah Cermin pemantul bagi bayang yg bercerita tentang diri, ,orang lain serta lingkungan yang dikasihinya.
Dan aku menyadari tiada daya yang lebih besar daripada Cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam hati.
Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam Cinta!
Hartono Benny Hidayat
www.duniasastra.com
Dalam tangisku ini, Ya Allah, anugerahilah jiwa hambamu ini dengan hangatnya CintaMu,
dan mencintai mereka yang mencintaiMu,
dan mencintai apapun yang mendekatkan aku padaMu, dan jadikan cintaMu lebih berharga bagiku daripada air segar bagi dahaga
+++++++ Roman Satria dan Tiara ++++++++
Bab. 1 Kisah Kelahiran Satria
Disebuah desa nan sejuk di kepulauan Jawa dwipa, terdapat pasangan muda-mudi bernama Aditya dan Dewi Prameswari.
Kedua pasangan ini sedang dalam proses penggenapan takdir Cinta, sebuah catatan takdir yang telah ditulis oleh Sang Maha Cinta sebelum segalanya tercipta.
Dua hati kelak akan menyatu dalam ikatan suci Tuhan, sebuah jalan takdir yang mungkin saja muncul tanpa mereka sadari, bagaikan sinar mentari yang mendadak muncul takkala keduanya sedang melewati awan kegetiran yang begitu gelap.
Keduanya begitu resah menanti datangnya cinta sejati. Masing-masing jiwa saling mendoakan satu sama lainnya, walau belum saling bertemu, berharap kebaikan dan keselamatan hidup dariNya.
Dalam doanya Aditya berseru, “Ya Allah saat langkah kaki ku telah mulai terasa berat untuk melangkah, punggung ini serasa memiliki beban yang begitu besar, pandanganku seakan mulai mengabur, maka anugerahkanlah aku pasangan hidup agar darinya hatiku merasa tentram, yang membuat hari-hariku cerah laksana kehadiran pelangi di pagi hari, maka siramilah aku dengan embun kasihMu, isilah taman jiwaku dengan setangkai mawar agar kepedihan ku menjadi sirna, tertiup angin kebahagiaan.”
Dilain tempat disebuah istana yang megah Prameswari juga berdoa, “Ya Tuhan, Engkau adalah Pemegang catatan takdir makhluk-makhlukmu sebelum mereka terlahir kedunia. Aku berada didalam istana yang megah namun hidupku sejatinya sunyi, aku laksana mawar kesepian diantara para bunga.
Penjaga kebun senantiasa merawat dan menjagaku, namun dengan penjagaannya membuatku berada ditempat yang begitu tinggi ,tak ada satupun pemuda yang dapat memetik keindahan bunga itu, maka anugerahkanlah aku seorang pemuda agar hari-hariku menjadi berwarna. Berilah kemudahan baginya untuk bertemu denganku, ringankanlah langkah kakinya agar kerinduan ini segera terobati.”
Suatu ketika dialun-alun istana sedang diadakan pesta rakyat untuk merayakan hari jadi pernikahan raja. Masyarakat tua muda berkumpul dialun-alun, mereka tertawa , menari dan bersuka cita bersama.
Berbagai tarian tradisional menghiasi pendopo dengan iringan musik gamelan. Kemudian keduanya bertemu dan saling menatap.
Dalam hati Aditya berkata, ” Hatiku yang beku tiba-tiba menyala laksana bara api takkala aku melihat parasnya yang rupawan, aku bagaikan seekor burung yang patah sayapnya, lidahku menjadi kelu, tak ada kata yang bisa terucap, tak ada perasaan selain kekagumanku dan rasa cinta yang begitu besar laksana bunga-bunga yang bermekaran ditaman hati”.
Begitu juga yang dirasakan Prameswari, “Jiwaku terguncang ,kesadaran ku mendadak sirna menatap ketampanan dan ketajaman sorot matanya, cinta telah menikam dan menghujam jantungku dengan sejuta anak panah, membuatku takluk tak berdaya dihadapan singasana cinta”.
Kemudian keduanya saling sapa dan mulailah terjalin hubungan diantara keduanya, dua hati begitu akrab satu sama lain, seolah tak ingin terpisahkan laksana kelopak bunga dan kupu-kupu, kedua insan senantiasa ingin bertemu di tiap pergantian hari, di tiap pergantian bulan dan tahun, cinta mereka bersemi dibawah naungan sinar pancaran kasih Ilahi.
Pada suatu hari yang indah, berkatalah Aditya kepada Prameswari, “Duhai kasihku, engkau bagaikan mutiara di kedalaman samudera, aku telah menyelami hatimu hingga aku berhasil membawa mutiara itu ke tepian pantai kemudian mutiara itu menjadi hiasan mahkota jiwaku, maukah engkau selamanya bertahta di hatiku, bersanding dengan ku dalam ikatan janji suci Tuhan?”.
Wajah Prameswari nampak berseri, matanya berbinar laksana kilau permata, tangis kebahagiaan menitik dari kelopak matanya, kemudian ia berkata,
“Wahai kekasih, engkau adalah menara kekuatan disaat jiwaku terpuruk, Engkau adalah mata air kesejukan dikala di jiwaku merasa haus. Kehadiranmu laksana pelangi setelah datangnya hujan.”
“Bagaimana aku bisa menolak cinta yang kehadirannya begitu murni, aku laksana ibu bumi yang terberkati, taman jiwaku nampak bermekaran, dilamar oleh sosok lelaki sejati seperti dirimu”.
Takkala cinta hadir dan bertahta dikedua hati, maka yang ada hanya cinta , tidak ada yang lain selain cinta.
Saat cinta telah teruji dalam panas teriknya ujian kehidupan, ketika cinta telah dirasa cukup untuk saling mengenal masing-masing jiwa, menghadaplah mereka kepada orang tua untuk meminta restu.
Cinta yang polos dan murni datang tanpa membawa status dan harga diri, ia anugerah dari Sang Pencipta begitulah keagungan cinta, hadir tanpa syarat dan penuh degan ketulusan.
Namun dunia bukanlah tempat yang ramah bagi jiwa-jiwa yang tulus, dunia penuh dengan nilai kehormatan dan harga diri, kekayaan menjadi tolak ukur didalam upaya meraih ikatan suci .
Dua keluarga dengan status sosial yang timpang membuat mereka terpaksa harus terpisahkan.
Berkatalah mereka dengan lembut kepada Prameswari putrinya,
“Wahai putriku, engkau adalah nafas kehidupan kami, engkau laksana putri-putri raja, simbol bagi kebanggaan dan kebahagiaan keluarga kami”.
“Engkau adalah satu-satunya putri kesayangan kami, yang kecantikannya bak mawar nan indah, engkau laksana putik bunga yang telah kami besarkan dan kami rawat di taman hati dengan segenap cinta dan kasih sayang yang tulus, maka dengarlah nasehat kami.”
“Engkau tumbuh laksana kecantikan putri raja dengan segala harta yang kau punya, tentunya engkau bisa lebih memilih pasangan yang lebih baik darinya”.
“Masa muda dan perasaan cinta telah membutakan matamu, sehingga akal sehatmu mati terlena dan tenggelam dalam samudera cinta.”
“Lupakanlah dia, batu kali tidaklah sama dengan batu permata”.
Kemudian Prameswari membalas ucapan kedua orangtuanya dengan santun, “Wahai ibu dan ayah yang kucinta, cinta hadir tanpa ku undang, ia datang laksana anugerah dari langit untuk menyatukan dua hati yang berbeda, untuk saling melengkapi dari kekurangan masing-masing.”
“Kita tidak bisa memilih terlahir menjadi suku apa, anak siapa dan memiliki kepercayaan apa, semua adalah semata takdirNya”.
“Memang kehidupannya sangatlah sederhana namun aku bisa melihat hatinya begitu kaya, ia laksana batu permata yang belum diasah, setelah jadi ia akan bersinar bak permata terindah didunia, maka perkenankanlah kami untuk menyatukan dua hati kami dalam ikatan janji suci Tuhan”
Begitulah dua sejoli nampak sedang dimabuk asmara, petuah-petuah bijak seakan tak berarti saat mereka sedang hidup dalam dekapan cinta.
Ketika restu tidak juga datang, dengan berbagai cara dan permohonan , maka mereka memutuskan untuk pergi dan menjalin ikatan cinta tanpa restu kedua orang tua.
Restu orang tua adalah restu Ilahi, tanpa restu dari keduanya kehidupan kedua insan sering kali diliputi oleh permasalahan sebagai bentuk bunga-bunga rumah tangga, sebagai sepasang kekasih yang masih rapuh pondasinya, mereka saling belajar untuk memahami arti cinta dan kesetiaan, belajar untuk memaknai arti pernikahan bahwa tidak aku dan kamu, melainkan kita.
Hiduplah mereka berumahtangga jauh dari orang tua, melepaskan status sosial dan harta benda yang mereka warisi, belajar untuk saling berbagi, belajar arti kehidupan, berjuang bersama meraih cita dan harapan.
Dilain sisi bersedihlah ibunda Prameswari, gurat-gurat kesedihan menghiasi wajahnya , kerudung penyesalan menghiasi hari-harinya, “Wahai putriku, dapatkah kau rasakan penderitaan seorang ibu yang ditinggal pergi putrinya, seorang putri yang dulu dikasihi melebihi apapun yang ia punya, namun kini ia menjadi seorang pembangkang, ia menikam bathinku begitu dalam laksana belati, dapatkah kau rasakan betapa perih dan terlukanya seorang ibu akibat kehilangan seorang putri, dapatkah ia rasakan betapa beratnya perjuangan seorang ibu melahirkan, mengasuh dan membesarkan seorang anak , mengapa engkau bisa begitu mudahnya melupakan jasa seorang ibu demi cinta seorang pemuda ?”.
“Jari-jari tua ini telah memandikanmu, air susu ini telah membesarkan mu, kasih sayang kami mengalir tanpa batas laksana mata air, namun mengapa engkau melupakan kebaikan kami, seolah perjuangan kami tak ada harganya dimatamu dan lebih memilih pergi untuk cinta”.
“Dalam keheningan ini dapatkah engkau memperpedulikan orang tuamu yang tersiksa dalam kesepian dan rasa kehilangan yang tanpa batas?”.
“Putri yang ia cintai lebih memilih cinta pemuda dibanding cinta yang diberi kedua orang tuanya, semoga engkau bahagia dan baik-baik disana, doa-doa kami tak pernah terputus untukmu, wahai putriku”.
Hari berganti hari, musim berganti musim, Prameswari mengandung dan melahirkan anak dan dinamakan Satria.
Berbahagialah mereka, telah lengkap kehidupan rumah tangga mereka, tangis bayi dan tingkah lucunya menambah berwarna hari-hari mereka.
Mereka belajar bersama-sama menjadi orang tua, belajar bertanggung jawab membesarkan sang buah hati.
Dalam keharuan Prameswari berkata,
“Betapa besar kebaikan seorang ibu, ia melahirkan, menyapih anaknya dan membesarkannya tanpa berharap pamrih, semoga engkau menjadi putra yang berguna bagi bangsamu, seorang putra yang dapat membanggakan kami sebagai orang tua.
Kemudian Aditnya sambil memeluk mesra istrinya berkata,
“Dan betapa besarnya perjuangan seorang ayah, berjuang tanpa lelah dan tanpa kenal waktu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, semoga engkau menjadi anak yang dapat berbakti kepada kedua orangtuamu”.
Sejak kecil Satria sudah menampakkan sebuah kecerdasan yang tidak dimiliki oleh teman sebayanya, ia pandai menyanyi dan menggubah syair .
Buku-buku milik ayahnya dibacanya hingga tuntas mula dari agama, filsafat dan budaya, padahal teman sebaya sedang asik bermain-main dalam imajinasi kanak-kanak, ia malah mengamati kehidupan flora dan fauna di taman, ia tampak sebagai anak yang berbeda, ia lebih suka menyendiri, kecerdasannya terlihat sejak dini.
Pernikahan Aditya dan Prameswari berjalan dengan harmonis tanpa ada masalah yang berarti, hanya pertengkaran kecil sebagai bumbu manis rumah tangga.
Namun tiba-tiba datang awan gelap menyelimuti rumah tangga mereka, biduk rumah tangga yang mereka jalani terombang-ambing ombak kehidupan, dua jiwa yang masih memiliki ego yang tinggi, mengubur rasa cinta yang ada dihati mereka.
Minyak dan air tidak akan dapat menyatu, gelas yang telah pecah akan sulit diperbaiki, demikian juga persoalan menjadi rumit takkala kedua orang tua Prameswari ikut campur dalam perselisihan itu, tanpa tau apa sebenarnya yang terjadi.
Berkatalah mereka kepada Prameswari, “Tinggalkanlah pemuda itu, kembalilah kepada keluarga besarmu yang mencintaimu tanpa syarat, orang tua yang masih mencintai anaknya betapapun ia pernah terluka oleh sikapnya”.
“Orang tua adalah tempat kembalimu, tempat teraman seandainya tidak ada cinta yang dapat menjaga dan merawat mu”.
“Bawalah anakmu turut serta, tinggalkanlah ia seorang diri, seseorang yang tak mampu mensyukuri rasa cinta yang hadir ketengah-tengah hati mereka. Biarkan dirinya berkalang kesedihan hingga terkubur bersama derasnya airmata perpisahan”.
Tanpa alasan yang jelas pergilah Prameswari meninggalkan suaminya, meninggalkan cintanya yang dulu ia perjuangkan.
Aditya begitu terpukul, hari-harinya yang dulu berwarna kini menjadi gelap, bangunan rumah yang susah payah ia bangun hancur luluh lantak dalam seketika, separuh jiwanya hilang, ia laksana daun yang tertiup angin, hatinya gundah gulana, ia merasa bersalah terhadap putranya Satria dan ia berkata,
“Satria anakku, maafkan ayahmu yang tak dapat menjaga keutuhan keluarga ini, semua terjadi begitu cepat, laksana badai yang tiba-tiba datang memporak-porandakan bangunan keluarga kecil kita, menghancurkan cita-cita dan harapan kita, semua hancur terbakar menjadi abu dan asap kesia-siaan”
“Betapa ayahmu telah berjuang untuk mempertahankan semuanya namun menjadi sia-sia ketika tidak ada cinta di kedua hati ayah dan ibumu, berbagai fitnah menghujam kami berdua laksana rusa yang dipanah dari berbagai arah, rusa itu mencoba berjuang dan bertahan, kemudian mati tak berdaya”.
Dalam duka dan ketersendirian yang mendalam, aditya pergi tak tentu arah, bagai daun yang terlepas dari tangkainya berserak tertiup angin, kehilangan orang-orang yang dicintainya dalam sekejap membuat Aditya jatuh terpuruk, awan kesedihan menggelayuti hari-harinya kemudian ia jatuh sakit dan meninggal.
Satria kecil yang dibawa pergi ibunya tidak mengetahui bahwa ayahnya telah tiada, masa kanak-kanaknya berlalu dan ia tidak mengetahui permasalahan yang terjadi diantara kedua orang tuanya.
———-Roman Satria Tiara
Bab. 2 Kisah Pemuda bernama Satria
Kubah langit begitu cerah, bulan nampak tersenyum simpul berselimutkan kerlip sunyi bintang-gemintang.
Sedang angin malam berhembus tenang membawa nada-nada kesejukan.
Terrlihat dari kejauhan sebuah bangunan tua berpekarangan luas; tinggi menjulang kokoh laksana sebuah kastil, dengan sisi-sisi dindingnya yang nampak berlumut dan berlubang akibat termakan usia.
Rumah itu bertingkat dua, dipintu masuknya mengapit dua buah patung berbentuk malaikat kecil yang terlihat begitu indah manakala terterpa cahaya bulan.
Patung pualam itu begitu menawan, keindahan sorot mata dan kepak sayap kecilnya, seakan hendak menyapa ramah setiap tamu yang hendak bertandang.
Saat kaki memasuki pintu gerbangnya, terlihat beberapa tiang penyanggah atap berdiri kokoh menjulang bak tombak Julius Caesar.
Kemegahan itu belumlah cukup dengan adanya beragam guci cina, patung-patung marmer, serta lampu-lampu hias yang berpendar indah menghias dan menerangi seisi ruangan.
Bangunan tersebut memiliki beberapa bilik; bila kita susuri anak tangganya- terdapat ruang perpustakaan yang memuat ratusan buku.
Dimana salah satu ruangan tersebut dihuni oleh seorang pemuda yang tengah asik berkutat dengan buku-buku, dari keseriusannya -tampaklah bahwa ia sedang tenggelam didalam arus samudera pemikirannya yang dalam.
Bertemankan cahaya lilin yang bertempur melawan kegelapan malam, pada sebidang meja; dengan tumpukkan buku ditiap sisinya, sesosok pemuda tengah sibuk mengayunkan pena bulunya, sesekali ia tampak menengadahkan kepala, lalu menuangkan isi hatinya pada secarik kertas …
“Wahai Cinta, Engkaulah sumber inspirasi , yang membuat jiwa bak seorang pelukis,
Seorang pelukis yang tak memiliki gambaran tentang konsep akhir dari sebuah lukisannya,
Ataupun penjabaran universal dari lukisan yang ia buat.
Namun sang pelukis memahaminya,
sebagai karya lukis yang mengandung nilai ekstetik, kehalusan sapuan kuas serta kombinasi ragam warnanya, menciptakan sebuah keutuhan harmoni .
Dengan berbingkai citra rasa seni dan akal serta bersinergi dengan kanvas kemanusiaan .
Sebuah ide kecil tercuat, perihal ‘kanvas’ dan sesuatu yang berada diatasnya,
Inilah peradaban besar yang dicitakannya,
Inilah mimpi-mimpinya ! “
Kemudian ia kembali menuliskan pemikirannya diatas kertas,
“Pernahkah kau menderita karena cinta?, pernahkan kah kau tersiksa dalam penantian?”….”Aku pernah…..dan aku pernah juga merasakan indahnya Cinta!”.
“Laksana bergantinya hari, dari gelap menuju terang, bagaimana engkau dapat tahu manisnya madu kebahagiaan kalau engkau sendiri belum tahu pahitnya empedu penderitaan.”
“Tahukah kau sahabat…..Hari kemarin- hingga saat ini aku menulis, aku tak tahu harus kuisi dan hendak kemana surat jiwa ini kukirim. Bukankah bahasa hati tidak memerlukan rangkaian huruf, bukankah lembaran jiwa ini dapat terbaca- walau sekiranya tak ada tulisan diatasnya ?”.
“Bagiku Cinta laksana buah hati yang abstrak, Pohon jiwa yang tak henti berbuah, hadirnya laksana Cahaya abadi yang mengikis kegelapan malam. Mengubah dasar-dasar pemikiran , menanggalkan kesedihan , basahi keringnya dahaga jiwa , menggantinya dengan percikan mata air surga”.
“Maukah kau katakan pada Sang jiwa, apa yang telah dilihat oleh mata saat itu ?” “Dilihatnya bidadari memainkan harpa, denting-denting cinta mengalun merdu dari lentiknya, menyandungkan bait-bait cinta dari bibir merahnya”.
“Cinta datang bersenandung dalam tangisan suka- cita , Ia datang tanpa diundang atas nama kasih semesta, cinta adalah obat yang menyembuhkan, cinta laksana cahaya obor yang menghampiri setiap insan, agar dapat mensucikan jiwa“,
“Manusia terjaga untuk menyambut atau memalingkan panggilan sucinya, selalu terjaga Ia dalam pembaringannya yang getir , tertawa dan menangis ia dalam keheningan malam yang sunyi ”…
“Dan ketika aku mengagumi indahnya kecantikan, aku hanya dapat memujinya, tidak pernah hati ini berhasrat ataupun bermimpi untuk memilikinya , karena aku tetaplah jiwa yang kerdil.”
‘Telah bahagia kurasakan dari kegelapanku yang getir, bila jiwaku mampu mengukir dan menghampiri keindahan , yang hakikatnya keindahan-keindahan tersebut tidaklah pernah kumiliki’…
‘Aku hanya sekedar memastikan pada jiwaku, bahwa keindahan-keindahan itu tetap ada- tetap hidup serta bersemayam dalam kesunyian jiwaku, sekiranya jiwa itu harus merangkak dalam selubung kabut kegetiran ataupun berada dalam kematian panjangnya’.
‘Duhai kekasih…dari kegelapanku yang tak bertepi dan berdasar ini kasihani dan maafkanlah jiwaku, maka ijinkanlah aku memasuki kelapangan dan kebijaksanaanmu, ijinkanlah aku meneguk air- dari sumur jiwamu, engkaulah terkasih!… pemilik satu-satunya tetes air- bagi dahaga jiwa”.
‘Disaat dinding jiwa ini tak memiliki kekuatan atau cahaya yang menyelimutinya , hidupku seakan-akan berada dalam kotak yang sempit, tak pernah lagi kurasakan indahnya kesegaran pagi ataupun heningnya keindahan malam’ …
‘Bagiku bergantinya hari dari terang- menuju kegelapan adalah sama , karena hatiku telah terkunci , mataku telah buta, bibirku membisu dan ragakupun telah lumpuh oleh belenggu-belenggu yang memeluk-ku erat’….
‘Dalam sebuah rumah pengharapan -pelita bagi pembaringanku yang getir ,jiwaku terkapar sekarat, dengan sisa nafas kehidupan- kugerakkan tanganku yang lemah kearah langit, seakan-akan ada sebuah cawan air harapan serta sepasang sayap cinta yang mengangkat dan menyelamatkanku dari kegelapan ini’….
“Dalam kesendirianku itu kudapati Cinta berbicara dengan hati lainnya dengan bahasa yang berbeda, begitu besar makna keagungan cinta seakan tak ada ungkapan yang pasti didalam melukis hakikatnya.”
“Hati sang pencinta akan terus berbicara dengan hati pecinta lainnya. Sekalipun mata lahiriah tertutup, namun jiwa menyakini bahwasanya tak akan ada yang sanggup menutup mata hati, kecuali keagungan Cinta itu sendiri”….
“Saat Cinta hadir didalam sanubari, ia akan berputar laksana sebuah roda, Cintalah yang menghadirkan setangkup bahagia dan juga deraian airmata. Ia akan terus berputar mengelilingi ruang-ruang hati seakan tak memiliki awal maupun akhir didalam sebuah perjalanannya”.
“Cinta hadir laksana tarikan dan hembusan nafas semesta. Bagiku Cinta adalah sebuah pengorbanan , tapi bukan untuk dikorbankan.”
“Dahaganya adalah dahaga cinta, airmatanya -mata air cinta , walaupun cinta itu harus tertatih ataupun berkalang tanah serta binasa, maka cinta sejatilah yang bertahta”.
“Cinta adalah ramuan kesembuhan, Cinta adalah senandung hidup, disaat benih-benih cinta tumbuh subur diladang-ladang kasih Ilahi, ditanganNya- lah kehidupan dan kematiannya”
“Begitulah cinta yang pertama kali ku rasakan, ku dibuat buta olehnya, ku dibuat hidup dan terbakar oleh panas teriknya ,dialah racun yang melumpuhkan dan aku tersihir oleh keajaibannya !”
“Lalu kudapati bahwa suara hati dan pesona jiwa seorang Pecinta- berawal dan berangkat dari kepedihan hatinya, dan dari kepedihannya itu; ia membalutnya dengan cinta, maka tersingkaplah selubung kegetiran jiwa lalu menggantinya dengan percikan airmata bahagia.”
“Pernah aku letih mencari kesejatian Cinta dan makna dari kehidupan yang singkat ini….laksana sebuah perjalanan yang seolah tanpa akhir, ketika segala resah merasuk dan galau menyelimuti diri, aku hanya bisa menahan nafas , jiwa ini merintih dan terkapar, menggigil dalam kebisuan malam. Aku hanya terdiam, aku mengharap kehadirannya merupakan suatu perjalanan “terakhir” yang singgah didermaga hatiku.”
“Aku melihat ‘bahtera tua’ itu telah letih, seolah semua samudera ia telah dilintasi, seolah segala rute perjalanannya berlalu tanpa irama, melintas dan hanya melintas, tanpa ada nahkoda ataupun ataupun derai tawa bocah yang mengiringi perjalanannya”.
“Entah kenapa bahtera itu kini hanya ingin dilihat, ia mengharap suatu saat kelak- masuk galangan, Walaupun sekiranya terkurung dalam ruang yang terbatas namun ia memiliki teman, bersama bahtera lainnya yang lebih dulu ada- mereka saling berbagi tempat dan cerita.”
Ketika aku sedang berada disebuah dermaga, aku bercerita dengan bahtera lainnya,
“Aku lelah mengangkut segala tentang ‘ada’ ataupun ‘tak ada’ dari seorang manusia”.
“Aku mengharap didepanku merupakan sebuah pelabuhan terakhir tempat dimana ku dapat beristirahat dan singgah dalam waktu lama”.
Begitu banyak pergantian musim telah dilewati, namun tanpa kehadiran Cinta; semua berjalan seolah tanpa makna.
Bagaimanapun juga air sungai kelak akan bermuara ke laut, sedang penderitaan hatinya; kepada siapakah hal tersebut dapat dibagi?.Kemanakah belahan hatinya kini berada?..
Mungkinkah akhir segala resah akan bermuara kepada kebahagiaan?.
Tidak ada sebuah kepeningan yang begitu hebat selain kepeningan yang diakibatkan oleh cinta. Tak ada tabib yang dapat dengan mudahnya memberi kesembuhan atas penyakit -yang disebabkan oleh cinta, selain kehadiran si pemberi penyakit, yakni cinta itu sendiri.
Dalam kegalauan hati tersebut si pemuda ternyata belum mendapat arti dari makna tersembunyi dibalik semua kejadian , yang kini ia rasakan bahwa tanggannya telah terbelenggu , matanya telah buta dan bibirnya terkunci.
Ia telah hanyut dalam palung samudera perenungannya, darahnyapun telah tercemar oleh racun dan juga madu dari pemikirannya sendiri.
Sejak saat itu konon kabarnya ia lebih menyukai ketersendirian, dimanapun ada riuh keramaian, jiwanya tetap saja merasa sunyi. Baginya bergantinya siang kemalam ataupun sebaliknya adalah sama.
Bumi sang terkasih , ibunda kasih dimana permadani kehidupan tumbuh menghampar- telah mengucap janji setia pada Sang penyair, berikrar untuk selalu menemaninya dikala sunyi, menjadi sahabatnya dikala hampa:
Wahai penyair !,
Kurelakan jiwa ini , menahan pedihnya goresan tinta yang kau toreh diwajah ku,
Kubiarkan pula api, membakar seluruh ruang jiwaku, karena Sang terkasih aku memiliki kekuatan, dan karena ia- pulalah aku ada.
Melihat bumi kekasih tercintanya menangis, tampak bulir airmata- menetes dari pipi sang penyair, maka keluarlah syair pengharapan dari bibirnya :
“Duhai bumi kekasihku !,
ada ataupun tak ada, dirimu disisi -bagiku adalah sama!
Disaat dirimu hadir, denting kecapi mengalun di hatiku.
Engkau laksana cahaya bintang yang menghiasi malam sepi ku, takala senyummu hadir, Sejuk terasa dihati, walau kegetiran terasa dalam misteri.”
“Dibalik awan yang mendung- kulihat matamu yang indah memancar penuh kedamaian, dikala engkau tersenyum simpul kepadaku sekejap kegelapanpun sirna, mendadak kesedihan ku menghilang tergantikan oleh nyanyian surgawi.”
“Wahai kekasih. Engkaulah keindahan yang mengisi taman hatiku. Ketika rintik hujan membasahi bumi, rintiknya membasahi warna-warni bunga yang bermekaran di dasar hati.”
Begitulah sekilas kegiatan keseharian Sang Pencinta, seorang penyair lokal yang cukup disegani dari sukunya.
Satria berkembang tidak sebagaimana lazimnya anak-anak yang lain .Kehidupan masa kecilnya begitu unik. Disaat anak-anak sebayanya senang bermain-main dengan mainannya , maka ia lebih senang mengamati hewan dan tumbuhan yang ada di taman.
Sang ibu kerap dibuat bingung oleh ulahnya. Maka perempuan itu mendatangi tetua suku, agar anaknya dilindungi oleh ajimat yang dapat menjaganya dari berbagai bala.
Satria tumbuh menjadi anak yang cerdas dan periang. Kakeknya banyak mengajarkan padanya perihal kesusasteraan dunia, kesemua peninggalan buku-bukunyapun diwariskan kepadanya.
Tidak hanya itu saja, ia kemudian disekolahkan dan dititipkan kepada seorang guru terpandang di desanya. Berkat pendidikan dan pengajaran itulah maka ia piawai menggubah syair-syair dan madah cinta.
Ia terkenal sebagai anak yang ramah, penurut dan berbudi baik, wajar apabila ia memiliki banyak teman.
Setelah berumur dua sebelas tahun Satria ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya, dan ia diasuh oleh sanak kerabat keluarga ibunya, seorang paman yang berprofesi sebagai pedagang yang berasal dari timur, sang paman banyak menghabiskan waktunya dengan berdagang, sehingga keluarga lebih banyak ditinggalkannya – hingga hitungan bulan bahkan tahun.
Dalam ketersendirian dan keterasingan tersebut ia hanya mencintai dua hal : yaitu menulis syair dan memadu kasih dengan kekasih khayalnya, tak pelak lagi bila tak ada waktu dan hari melintas dalam benaknya selain menuliskan bait-bait syair, yang kesemua gubahannya itu dinisbatkan kepada “Seseorang” yang selalu hadir dalam tiap perenungannya diwaktu siang serta membuatnya selalu terjaga dikala malam.
Kepada siapakah gerangan syair-syair itu ditujukan?!…Duhai betapa beruntungnya gadis yang menjadi sumber inspirasinya itu,….namun tiada seorangpun yang mengetahuinya, begitu juga dengan ayahandanya, begitu pula para kerabat dekatnya.
Mereka para handai taulan- hanya sekedar mengapresiasikannya saja, dan memaklumi berbagai ulah gilanya, sebagai bentuk perilaku seseorang yang sedang melewati masa remaja.
Bahkan tidak sedikit diantara tetangga ; ataupun para kerabat yang telah menuduhnya sebagai seorang yang telah lupa ingatan akibat sihir cinta.
Maka dari itu -ia pun bersyair, kepada mereka-mereka yang telah menganggap dirinya telah lupa ingatan, seolah duduk perkara kesemuanya itu , bersumber dari penderitaan cintanya yang tak berbalas.
Bahwa hati mempunyai bahasa yang lain ,
Jiwa yang tak paham akan menganggapnya gila.
Jiwa yang memiliki batas pengelihatan akan sia-sia.
Dilihatnya mata air, adakah jiwa dapat melihat nestapa air – ketika menembus kegelapan?! …
Cinta sejati adalah cinta yang membakar keegoan diri, laksana sebuah cawan perak yang patuh walau tertempa sebuah besi panas, pesona keindahannya-pun mampu melumerkan segala macam bentuk rantai besi yang membelenggu diri .
Sebuah ungkapan menyatakan “Cinta datang dari mata turun kehati“, namun diri menyakini bahwa pandangan bukanlah satu-satunya jalan yang dapat menghadirkan indahnya getaran dawai kecapi cinta – yang bersenandung dalam bilik hati.
Bagi Sang Pencinta, Cintalah satu-satunya -cahaya pemilik jiwa, Sang Jiwa Pencinta akan terus hidup dalam keabadian, Pemilik abadi dari berbagai ramuan dan mantra ajaib, yang dapat menyembuhkan segala duka lara.
Begitulah saat itu, entah darimana datangnya, tiba-tiba saja hari-harinya kini dihiasi rangkaian bunga Cinta masa muda !…..didalam kebingungan dan kepolosan jiwa, Si pemuda menciptakan kekasih khayalan bagi jiwanya yang sepi, seolah mereka hidup dalam dunia, dan bahasa kalbu yang sama. Di keremangan malam, sebuah syair disenandungkan Satria kepada kekasihnya itu:
Disaat ku terjaga dari tidurku ,
Dirimu hadir diantara bintang-bintang yang ingin kutemui.
Ku nyalakan lilin di istana gelap hatiku
Lilin api yang berpendar cahaya kasih,
Ibunda cahaya dari segala cahaya – yang menceritakan segala tentangmu dan tentangku.
Kuambil secarik kertas, ku tulis lalu ku curahkan semua yang ada dihati.
Engkaulah yang menuntun penaku agar berbicara dengan bahasa hati.
Duhai kekasih,
Ku cipta puisi terindah untukmu,
walau dirimu belum hadir sepenuhnya , namun ku yakin -hatiku dapat merasakannya ,
Getaran ghaib itu, dapatkah hati merasakannya ?!
Puisi, petikan gitar dan syair lagu..semuanya, yah semuanya yang ku-punya…
Aku mendedikasikannya untukmu ,
Karena Kaulah semua ini tercipta.
Dari ketersendirianku yang mencekam, dari malam-malam yang melintas tanpa bintang, kembali aku menggubah sebuah syair kerinduanku untukmu :
Cinta yang terlahir bersama rahasia malam,
Menghadirkan ketulusan dan keabadian cinta yang dalam, laksana dalamnya samudera,
setinggi bintang dan seluas angkasa.
Cinta yang kubawa adalah cinta yang ku peras dari serat jantung dan tinta airmata ,
Menghidupi hati nan kering lalu menjelma menjadi sebuah mata air -penghapus kerinduan.
Keindahan yang dapat membuat seorang bahagia walau ia berada dalam selubung kepedihan.
Membuat jiwa merasa teduh dalam damai, sekiranya badai dalam jiwa sedang berkecamuk.
Dan bukanlah kehidupan seorang penyair bila ia tidak berdiri di dua sisi ketajaman mata pedang. Karena demikian besar pengaruh kewibawaan ayahandanya sajalah, yang membuat dirinya terpelihara dari fitnah serta gunjingan masyarakat sekitarnya.
Dalam jalan kehidupan , bukan duri saja yang melintang diatas permukaannya, melainkan adapula bunga-bunga yang tumbuh subur diatas tanahnya, dan tidak sedikit pula yang memuji ,menghapal serta menulis berbagai riwayat- ratusan atau bahkan ribuan syair-syairnya , sebagai suatu bentuk cinta dan penghormatan baginya .
Kepada mereka-mereka yang memujinya secara berlebihan ia bersyair :
Lebih baik kalian melempari ku duri ,
daripada kata-kata madu – yang kelak menikam laksana pedang yang tajam.
Dan aku bukanlah bintang yang menerangi gelap malam bukan pula daun kering yang berserak tertiup angin .
Aku adalah seorang pengembara yang sedang menyusuri dan mencari pelangi dibalik kabut hitam.
Yang hendak ku jumpai diujung harap adalah lentera jiwa, Obor kehidupan yang menerangi di tiap langkah
‘Aku berlayar dan aku pergi , mengarungi dan melintasi luasnya samudera kehidupan- bersama angin kehidupan aku berkelana ,
tetapi bukan berarti kepergian ku tanpa arah tujuan’ .
Kini jemari kelembutan angin malam telah menyapa mata sang pemuda , kepenatan telah memanggilnya untuk beristirahat, diatas kertas-kertas keabadian itulah, ia menyandarkan kepalanya; di bahu meja kebersahajaannya- ia merebahkan tubuh…
Bersambung…
Hartono Benny Hidayat
www.duniasastra.com
Semoga karya ini semegah Roman Cinta Layla Majnun dan Romeo Juliet.
Tulisan ini telah dirintis sekitar tahun 2000-an (saat masih kuliah di UI) dan kembali dikembangkan dan disempurnakan pada 9 Mei 2021.
Roman ini sudah sampai 7 bab, namun belumlah final baru sekedar draft.
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat
Bab 2.Roman Satria-Tiara
Bab 2
Menurut shahibul hikayat, Tersebutlah seorang raja dari negeri timur yang berkuasa dan termasyur bernama Nalendra , kekuasaannya terbentang laksana permadani yang menghampar dari ujung bumi yang satu, keujung bumi yang lainnya. Ia begitu disegani rakyat dan para musuhnya, kata-katanya menjadi sabda, perintahnya adalah titah yang tak seorangpun berani menentang.
Ditangan kebesarannya Kerajaan Ansaria mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaannya melebar sampai Semenanjung Malaka, Kamboja dan kepulauan pacific. Raja-raja yang telah ditaklukkannya diwajibkan mengirimkan berbagai upeti sebagai tanda bakti.
Raja Nalendra mempunyai seorang putri bernama Tiara, sebuah kerlip bintang yang paling bersinar pada masanya , kecantikan dan budi pekertinya tersebar dan tersiar hingga ke segala penjuru kerajaan arah mata angin.
Tak pernah hatinya diliputi kecemasan sedikitpun, seolah pintu-pintu langit tempat dimana ia bernaung, selalu mencukupi berbagai kebutuhannya- dengan memberi tetes air keberkahan , bagi beragam jenis warna bunga, yang hidup dan merekah dalam taman hatinya.
Wajahnya selalu berseri dan tak pernah terbersit dari pancaran wajahnya suatu bentuk kedukaan ataupun kemuraman hati. Ia selalu dalam kegembiraan, tak pernah ia menanyai hari esok ataupun yang kan terjadi setelahnya, seolah berbagai kebaikan serta rahmat dunia berada dalam genggamannya
Kelokan dua binar matanya , bersinar laksana mata kijang. Seakan mampu menghipnotis orang yang paling arif sekalipun -hingga menawan hatinya dalam jeruji keputusasaan, serta memabukkan dan menenggelamkannya dalam cawan-cawan anggur, yang berisi air harapan akan cinta dan anugerah.
Seandainya saja mata pena dipaksa untuk menuliskan keindahannya, tentu hal tersebut akan sia-sia , disaat jiwa hendak menulis perihal keindahan sejatinya , selalu saja mata-mata pena tersebut menjadi patah , dan disaat buah-buah kebijaksanaan hendak dipetik, guna mengisi pena dengan getahnya, selalu saja kertas-kertas tersebut terlebih dulu terbakar , seakan tak kuasa menahan beban amanah yang meski dipikulnya.
Walaupun berbagai kesenangan hidup telah dikecapnya, ternyata Sang Putri menyimpan suatu kegundahan hati, dalam tiap mimpi-mimpi malamnya ia sering berjumpa dengan sosok pemuda yang begitu mengganggu pikirannya. Dan ia bahkan mengigau menyebut-nyebut nama kekasih khayalnya itu disetiap waktu -disetiap saat.
Kelakuan ganjil tersebut terkadang membuat hati Raja menjadi gundah. Bagaimana mungkin seorang ayah akan tega membiarkan permata kesayangannya tertimpa suatu penyakit aneh..Karena hal itu Sang Raja menjaganya siang malam, memayungi dirinya dengan perhatian dan kasih sayangnya yang tulus..
Didalam pengasuhan mawar tersebut, Raja Nalendra benar-benar mengistimewakan Tiara sebagai harta yang paling ia cintai, kasih sayangnya sekan tercurah hanya untuknya seorang serta menjaga layaknya Sphinx pada piramid.
Raja Nalendera telah lama mendambakan mempunyai anak kembali, seorang anak lelaki yang kelak akan mengangkat tongkat kebesaran dan mewariskan kejayaannya dengan semerbak keharuman mawar, namun keinginannya tak pernah terwujud karena permaisurinya tak pernah lagi mengandung.
Pada suatu hari Raja Nalendra mengadakan suatu acara yang ditempatkan dibalirung istana , berbagai kalangan masyarakat berbaur menjadi satu, bersorak penuh kegembiraan dalam sebuah keceriaan malam, mereka diundang secara khusus untuk merayakan hari kelahiran rajanya yang telah memasuki usia 75 tahun, didalam keria-an acara tersebut berbagai lomba dan atraksi telah digelar, berbagai pundi-pundi kebaikan dibuka, malam itu menjadi malam yang penuh keberkahan tidak saja bagi kalangan amir tapi juga fakir.
Berbagai kebaikan di malam itu, seakan menjadi air yang menghidupi serta merahmati segala karunia yang telah dicurahkan Sang Khalik pada sang raja., atas pemberian kesehatan dan umur yang panjang kepadanya.
Didalam pesta itu digelar berbagai atraksi, tari-tarian , dan juga lomba bersyair, dikarenakan ikut dalam pertandingan, Satria berada diruangan utama. Dimana ruangan itu dikelilingi meja-meja perjamuan, laksana sebuah taman firdaus, beragam hidangan lezat, hiasan-hiasan dan bunga-bunga terbaik yang ada diseluruh negeri tersaji disana .
Berbagai kenikmatan dunia terpancar dari tangan emasnya, sebuah tempat dimana terdapat Raja dan kerabat serta para bangsawan bercengkrama bernaung dibawah langit kejayaan, seakan hendak memperlihatkan kebesaran serta kemuliannya masing-masing..
Setelah memberikan kata sambutan, Raja Nalendra secara resmi membuka acara tersebut. Digelarlah berbagai atraksi kesenian tradisional yang dilakukan para seniman istana. Ketika sang putri raja sedang menari dengan pangeran dari kerajaan lain, secara tak sengaja kaki sang putri menyentuh meja yang diduduki seorang pemuda, sehingga menjatuhkan gelas kepangkuannya, yang belakangan kita ketahui bernama Satria.
Dalam kejadian serba cepat seperti itu, si pemuda dengan khilaf secara tak sengaja mengeluarkan desis bernada hardikan; apalah daya desis telah keluar dan tak mungkin dapat ditarik kembali, tak pantas bagi seorang rakyat biasa mengeluarkan desis sekecil apapun juga, terlebih lagi kepada seorang yang begitu dihormati, maka si pemuda buru-buru meminta maaf atas segala kekhilafannya, alih-alih sang pemuda akan marah, ternyata ia terpana kepada kecantikan gadis itu.
Sambil tersenyum ramah pada Satria, Sang Putri menghaturkan permohonan maaf secara tulus padanya. Tertegun oleh kerendahan hati dan keramahan Sang Putri, Satria bersyair dalam hati :
“Tak jadi masalah Tuan Putri menjatuhkan air kepangkuanku,
Padahal lomba belum saja digelar,
Tak mengapa bila harus menjadi seorang pecundang,
Jika senyum yang diberikannya padaku,
telah menjadikanku sebagai seorang pemenang!”
Pada saat itu juga, keindahan atap istana beserta indah kerlip lampu-lampu kristal, telah menandakan sebuah takdir -bagi lahirnya seorang penyair, yang kelak akan mewariskan bait-bait abadi bagi generasi sesudahnya .
Banyak wanita yang memberi ilham padanya untuk menulis kasidah, bagai kumbang yang mengelilingi bunga-bunga, tetapi Sang penyair hanya tertarik pada salah seorang diantara mereka, dialah Tiara anak dari Baginda Raja.
Saat wajah rindu akan damai, seolah kedamaian itu harus ditebus oleh peperangan, wajah yang terluka akan dibasuh serta disembuhkan -oleh kain dan airmata keharuan.
Begitu juga disaat sang pemuda datang dengan membawa hati yang tandus , tiba-tiba saja hadir seorang yang memiliki kecantikan bidadari, basahi dahaga kerongkongan jiwanya dengan membawa sejumput senyum menawan, yang kelak akan menyegarkan segala resah hatinya.
Ketakjuban itu terus berkembang hingga menjadi sebuah taman jiwa yang penuh terisi oleh bunga-bunga cinta. Maka dari itu, keluarlah syair-syair indah dari bibirnya seakan sudah menjadi detak jatung penyair kita.
Ia takkan pernah berhenti bersyair kecuali jika sang kekasih menghendaki atau jantungnya sudah tidak berdetak untuk selamanya.
Duhai Pesona para dewi,
disaat aku melihat engkau menari,
Gerak gemulai tubuhmu membuat jantungku seolah berhenti berdetak,
Andai saat itu aku yang menari denganmu,
Pasti ku kan binasa, melihat pencaran mata yang begitu indah itu,
Duhai Dewi Cintaku,
Saat kau melemparkan sebuah senyuman padaku, hatiku yang beku kini mencair
Disaat kita saling menatap,
maka sabda jiwa kita tak mampu menyembunyikan rasa dihati.
Kebisuan kita adalah cahaya keindahan yang memancar dari dalam diri,
lebih mulia dari suara-suara yang ditutur alam,
Lebih indah bunyi-bunyian yang terucap dari para malaikat,
Duhai dara jelita,
keindahan diatas para Putri-putri Raja,
Apakah jiwamu dan jiwaku saling bertemu dihari pertemuan itu ?!
Setelah pesta usai, keterpesonaan Satria kepada sang putri membuat dirinya lupa menanyai nama seorang gadis yang telah memikat hatinya itu.
Beberapa hari kemudian sipemuda kembali menuju keistana, kebetulan diistana sedang ada pengangkatan prajurit baru, maka kesempatan itu tidak disia-siakan olehnya, saat berada di alun-alun istana sipemuda berjumpa dengan beberapa dayang-dayang istana , sambil menyelesaikan urusannya, ia menyelidiki dan mencari tahu siapa nama gadis yang berada dalam pesta kemarin itu yang kerling matanya begitu mempesona, senyumannya indah tak terperi, atau langgam bicaranya yang menawan telah membuat hatinya terbakar oleh bara api bernama cinta .
Ternyata usaha tersebut tidaklah sia-sia, salah satu dayang istana mengabarkan keberadaan si pemuda kepada sang putri, “ kekaguman atas diri Tuan Putri telah melahirkan banyak bait-bait syair cantik dan kebanyakan syair-syair itu dinisbatkan kepada Anda!” , begitu tuturnya.
Mata merupakan jendelanya hati, segala sesuatu yang mengitari pikiran sang pecinta mendorongnya untuk menemukan cintanya, walaupun dengannya ia harus mereguk racun, niscaya racun itu tak berdaya oleh madu cinta yang mengalir dalam darahnya .
Tak bisa pungkiri bahwa Sang Putri juga merasakan getaran yang sama, takkala ia mendapatkan cerita perihal kekasihnya itu. dawai-dawai kecapi asmara serasa mengalun merdu diseputar dinding hatinya .
Ketika cinta hadir dan mengetuk pintu hati, maka hati tak akan lagi bisa membedakan antara kaya atau miskin, siburuk rupa atau sibaik rupa. Dan sang putripun tak dapat berpaling untuk tidak mencintainya.
Tiara sang putri raja, melihat sesuatu yang indah memancar dari diri si pemuda. Begitu juga sebaliknya dengan sipemuda, ia memandang Sang Putri sebagai sebongkah mutiara nan sempurna, yang memancarkan cahaya kecantikan dari dalam diri.
Gayung bersambut , tidak bertepuk sebelah tangan. Setiap kali dua jiwa itu bersua , kadar cinta di dada masing-masing semakin bertambah besar. Dalam cinta dan kerinduan, selalu bermula dari pandangan mata, kemudian senyum, lalu sapa, bicara lantas berjanji untuk bertemu, terjadi perjumpaan atau bahkan perpisahan.
Setelah perjumpaan sekejap itu, hubungan keduanya berlangsung melalui surat ataupun saling kirim mengirim utusan.
Syahdan Sang Putri Raja sedang dilanda demam asmara , pikirannya takkan pergi jauh dari sang terkasih, walau banyak sekali duri yang menghalang ataupun cemoohan yang terlontar, ia tetap saja tak peduli ; dan semakin menyakini -bahwa getaran yang bersemayam dalam hatinya merupakan sebuah getaran cinta yang telah lama terpatri dalam hati, takkan pernah ia merasa bersalah dan takkan penah mengenal kata salah.
Seseorang yang bijak sekalipun tentu bisa mengendalikan akal sehatnya , namun apalah daya jika sibijak diterpa penyakit cinta, tak ada obat mujarab yang dapat dengan mudahnya menyembuhkan penyakit ini selain kehadiran si pemberi penyakit
“Ternyata dialah !…ternyata dialah yang sering mampir disetiap mimpi-mimpi malamku!” gumam Tiara, Sang Putri Raja.
Begitulah bila cinta telah dibutakan oleh hasrat dan keinginan , ia akan lupa akan kebenaran yang mendasarinya, apalah daya tembok yang kokoh lagi tinggi ataupun kesiagaan para pengawalnya -semua kan jadi percuma, bila yang meski dijaga adalah sebuah hati.
Dalam suatu kesegaran pagi yang cerah, dengan berhias lengkung warna-warni pelangi, bunga-bunga merekahkan putik mahkota indahnya. Dipagi itu pintu-pintu langit hendak menganugrahkan hikmah, serta memperlihatkan tabir lain yang sempat terhalang bagi pengelihatannya, maka terbukalah secara perlahan berbagai selubung yang menutupi matahatinya, sehingga Tiara Sang Putri Raja merasakan sesuatu yang aneh -telah terjadi pada dirinya. Ia melihat dan menyaksikan dengan mata hatinya , bahwa kupu-kupu dan bunga saling berbicara , seolah mereka hendak menyampaikan dan menisbatkan bait-bait syair nan indah ini untuknya :
Aku adalah kupu-kupu ,
aku dan bunga adalah sepasang kekasih.
Angin kehidupan mempertemukan dan memisahkan kami.
Aku terbang dan aku datang dari atas singasana cintamu,
untuk menggabungkan sengat kasihku dengan putik indahmu, serta keindahan warnanya yang menyatu dengan keindahan sayap-sayap cintaku.
Menjelang segarnya pagi aku menghampiri kekasihku,
dan ia mendekapku dalam kelopak indahnya.
Disenja hari kutorehkan dan kubacakan syair-syair kerinduanku ,
lalu ia tersenyum , dan melambaikan kelopak jiwanya padaku….
Kupu-kupu bersayap yang oleh cinta tidak diberi kekuatan, tidak akan bisa terbang dari balik dedaunan untuk melihat keindahan dan keagungan cinta,
Dimana jiwaku dan jiwa kekasihku menyatu dalam setiap hembusan dan tarikan nafas keabadian…
Ketika angin menyandungkan bait-bait cinta ,
Ruh semesta yang mendengarnya akan tertunduk dalam bulir airmata bahagia…
Disaat angin bergolak, dan hati terluka…Kupu-kupu terbang susuri taman-taman hati, dilihatnya bunga-bunga merekahkan warni kemandulan jiwa…putik indahnya takkan pernah mendengar…ketika alam menyandungkan bait-bait kehidupan…
Kekasihku,…..
Aku ingin engkau mengenalku sebagai keindahan kupu-kupu yang pernah tertatih dalam kegelapan…Aku ingin engkau mengingatku sebagai makhluk yang pernah terkurung sepi dalam selubung kegetiran ….
Duhai, keindahan jiwa yang menghias taman hatiku,
Tak ada hari-hari yang lebih indah daripada hari-hari yang dihiasi oleh keindahan cinta…
Tak ada badai yang lebih menakutkan selain badai asmara..tetaplah dalam genggaman erat – kepakan syair keabadianku, dan
jadilah pengikut setia atas Singgasana keajaiban cintaku…
Dan kupu-kupu yang dicintai Sang Putri Raja bukanlah kupu-kupu biasa, walaupun ia berasal dari kalangan jelata , namun dia adalah sosok pemuda yang cakap menunggang kuda, hebat dalam memainkan pedang dan ahli membuat syair, konon apabila ia menyandungkan bait-bait syair, kehalusan dan kedalaman makna yang terkandung didalamnya amatlah menggetarkan jiwa, bahkan bagi jiwa sekeras batu sekalipun akan luluh lantak dibuatnya.
Dilain kesempatan, masih disebuah taman jiwa yang sama Sang Putri terlihat menghampiri kupu-kupu tersebut , serta meraih sayapnya kemudian ia berbicara padanya
”Wahai kupu cintaku !’, katanya “Dari sayap keindahan dunia manakah kepakanmu berasal ?”. “Dapatkah kau padamkan nyala api yang menyala dalam hatiku kini ?”, “Haruskah aku memohon padamu untuk mengatakan padaku siapa namamu dan dari mana engkau berasal ?.” ….
“Lihatlah luka yang telah tergores dan teranga di hati ini, dapatkah kau biarkan keperihan ini terus berlangsung, sedang kau biarkan aku meluruh dalam dekapan sayap kebesaranmu ?”…Duhai, betapa malangnya jiwaku, dan ku yakin tak seorangpun mau tertimpa cinta seperti ini, kau telah membawa pergi hatiku , tanpa meninggalkan jejak sedikitpun perihal dirimu!”.
“Duhai kepakan sayap yang terus bergema dikehening ruang hatiku, maukah kau ceritakan padaku ihwal syair yang kau gubah untukku?!”…”Tahukah kau wahai kekasih hati !, bahwasanya bayang indahmu telah menggangu tidurku, merampas ketenangan malamku dengan menaburi duri cinta pada pembaringanku ?!”
“Ketahuilah bahwa kebebasanku kini, telah tertawan oleh keindahan bait-bait cintamu, maka sandingkanlah kedua jiwa itu; bila kau tak sudi menyatukannya sesegera mungkin, maka kembalikanlah jiwaku !…dan jangan biarkan terus jiwaku tersiksa dalam penantian – serta menunggu dalam keraguan ditiap detik ujung harapku ini !”
Tak beberapa lama kemudian kupu-kupu yang menghias serta bersemayam ditaman jiwa itu menjawab seruannya, lalu kupu-kupu yang ada digenggamannya itu berkata :
“Saat Sang Putri Raja berdiri ditepian senja, langit mengukir lembaran kisahku padanya, maka ia tersenyum, ia menangis , dan ia tertegun”.
“Duhai kelembutan jemari yang telah menggetarkan kebesaran sayap-sayap cintaku !” “Janganlah kau berburuk sangka, ijinkanlah aku barang sejenak mengagumi keindahan parasmu, maka ijinkan aku untuk memaknai keindahan dirimu dalam kepakan sayap-sayap kebijaksanaanku !”
“Dan janganlah mengira luka cinta yang kuterima akibat pesonamu, lebih ringan dari yang kau terima dariku.”…”Jiwakupun tertusuk oleh panah cinta yang sama !”
Pertemuan-pertemuan dalam alam impian, ternyata belum juga bisa menjawab dan menyembuhkan penyakit akan cinta atau memadamkan gelora bara api cinta yang berkobar didalam hati.
Sang putri raja kembali kekamarnya dengan membawa penyakit bathin didalam tubuh, badannya semakin kurus beriring dengan berlalunya hari . Tak seorangpun tabib yantg mampu mengobati. Setiap hari ia mengigau menyebut-nyebut nama kekasihnya atau berbicara dengan bayang-bayang sang terkasih..
Perpisahan adalah ladang subur untuk menumbuhkan dan menyalakan api cinta. Tidaklah menjadi kendala bila kedua pecinta terpisahkan oleh jarak, dinding-dinding kokoh yang sengaja dibangun-pun akan sia-sia belaka, bila yang ingin dibatasi adalah sebuah jiwa.
Baginya, cinta sejati adalah singgasana peristirahatan akhir bagi kemurnian hati, dihadapannya-lah cinta menghamba , didalam erat genggamannya-lah kekuatan cinta memasrahkan diri.
Berkali-kali mereka berusaha untuk merajut benang-benang cinta kasih, tetapi apa lacur , untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, benih asmara dalam kedua jiwa itu akhirnya tercium juga oleh keluarga sang putri.
Kini kekasih yang dibangga-banggakannya telah dipingit dalam kamar kerajaan, ia tak dapat lagi keluar tanpa pengawalan teman atau orang yang dapat dipercaya.. Kalau terpaksa harus keluar, itupun bila ada keperluan yang amat mendesak.
Sang putri raja telah dipersiapkan untuk menjadi pewaris kerajaan, dalam pingitannya itu ia hanya diam seribu bahasa sembari merasakan pahitnya kesedihan.
Saat cinta menyapa jiwa pemuda dan putri raja , saat bunga-bunga cinta telah terpaut dilubuk hati keduanya, kini Tiara sang putri raja tidak dapat ditemuinya kembali sekalipun itu hanya sebuah pertemuan melalui surat-menyurat. Maka biarlah kumpulan
lembaran jiwa itu; impian, imajinasi dan kenangan yang menyertainya , menjadi muara ilham bagi lahirnya bait-bait syair yang dinisbatkan padanya
Beriring dengan berjalannya waktu, hal tersebut tak berlangsung lama, secara sembunyi-sembunyi, pertemuan mereka menjadi semakin rutin, meski hanya memandang Tiara dari bawah balkon istana, sebuah pertemuan suci dilakukan dengan tetap menjaga diri, tak peduli langit sedang menghitam atau guntur sedang membahana, mereka tetap gigih, walau mara bahaya mengancam keduanya , seakan hal itu tak menyiutkan nyali dan menyurutkan niat baik kedua pecinta yang sedang dilanda asmara untuk saling bertemu.
Dalam kenekatan seperti itu, Sang Raja pernah menasehati putrinya:
“Wahai anak pelita bagi kebesaranku , engkaulah satu-satunya yang paling kucinta, permata yang paling berkilau dari seluruh negeri ..sampai kapankah engkau akan tersesat dalam kebeliaan masa mudamu ?… Mengapa engkau masih berhubungan dengan pemuda yang tak jelas keberadaan dan asal-usulnya?…Ketahuilah bahwasanya engkau adalah seorang putri Raja, banyak pangeran tampan yang mengantri laksana kumbang mendekati bunga untuk dapat mendapatkanmu, namun mengapa engkau terpedaya dan terbelenggu dalam jerat-jerat tipuan yang telah diciptakan olehnya?…Seseorang yang memperlihatkan manisnya cinta padamu, laksana kembang gula, padahal ia telah membuatnya dengan jemari hitam lagi berkuku tajam! ”
“Duhai Ayahandaku tercita” tuturnya, “ Janganlah engkau berkata seperti itu, tidakkah kau ketahui ,bahwa tak ada seorang gadispun yang ingin tertimpa kemalangan seperti ini, ……luka pada hatiku ini; bukan atas kehendakku- ia ada, namun karena kebesaran cinta itulah ia ada!”
Ketidaksukaan Sang Raja pada Satria berbuntut panjang, sebenarnya Satria lulus dalam seleksi pengangkatan prajurit baru, namun karena ketidaksenangannya itu, ia dinyatakan tidak lulus secara sepihak, musnahlah harapannya sebagai abdi negara yang ia citakan sejak kecil. Namun demikian Satria tak pernah berkecil hati ataupun berputus asa, ia tetap berusaha tersenyum walau hatinya merintih.
Cinta tak pernah berubah sepanjang masa . Cinta adalah getaran yang menembus kalbu. Cinta adalah panggilan jiwa yang memaksa jasad untuk mengikuti. Dan cinta adalah bara api yang berkobar didalam hati setiap kali melihat sang terkasih, atau mendengar namanya disebut.
Perputaran hari telah menengaskan bahwa setiap kali kedua jenis anak manusia dipisahkan, setiapkali rasa rindu untuk bertemu meenggelegak didalam jiwa, setiapkali itu pula akal menciptakan bentuk bentuk hubungan yang tak pernah terbayangkan.
Seorang pecinta yang tergila-gila tidak akan merasa cukup bila hanya menyandungkan bait syair pada sang terkasih, ia akan berusaha mendekati rumah kekasihnya itu berharap sebuah keajaiban mempertemukannya dengan si jantung hati.
Bukanlah seorang Satria, bila ia tak bersyair untuk menjawab segala keresahan hatinya, dan bukanlah seorang Tiara, bila ia tak pandai bersyair dan juga menterjemahkan syair-syair yang dinisbatkan padanya…
Duhai kekasih,
Disaat seorang pemuda dilanda cinta, Hal gila apapun pasti dilakukannya demi Sang tercinta,
Tembok yang tinggi sekalipun kan dipanjatnya, laut nan luaspun kan diarunginya,
Onak-duri itu dapat dengan mudah diatasinya, lain halnya bila bunga yang ia cintai dipagari – dinding-dinding kemuliaan dan kehormatan,
Ia akan mati dibalik tembok itu dengan menggenggam sebuah keyakinan kuat dalam hatinya,
Dalam kematiannya- ia menyakini bahwa; kelopak bunga yang ia lempar dari balik tembok itu,
sekalipun bunga-bunga itu tak ada yang memungutnya ,
suatu saat layunya akan menjadi benih harapan, serta obat kerinduan bagi sang terkasih,
Bunga-bunga harapan yang kelak menjadi pelipurnya dikala sedih,
menjadi teman sejatinya dikala hampa.
Roman Satria Tiara . Bab 2
Karya : Hartono Beny Hidayat
Bab 3
Begitu banyak pergantian musim telah dilewati Satria, namun tanpa kehadiran Cinta; daun-daun harapannya helai demi helai jatuh berguguran, kuncup kebahagiaan tak lagi mau merekah, sebab cahaya kehidupannya telah lama tertutup mendung.
Cinta adalah buah perwujudan perasaan kasih yang tak mungkin dapat disembunyikan dari pohon induknya. Bagaikan musim semi, bunga-bunga cinta itu semakin merekah memenuhi taman-taman hati.
Siapakah yang yang dapat menyembunyikan rasa cinta dari hati seolah tak ada apa-apa yang terjadi pada dirinya selain ungkapan rindu ingin berjumpa?.
Seorang penyair akan menyatakan cintanya pada dunia. Dalam ketulusan jiwa ia rela terluka ataupun berkalang tanah untuk memuji dan membela kekasih hati dari orang-orang yang mencelanya. Kerumunan orang yang tak sengaja mendengarkan senandung rintihan hati sang penyair, akan ikut menangis bersama , seakan ikut menyelami palung kepedihan sang penyair yang cintanya terpasung dalam samudera keputusasaan.
Hubungan penyair dengan perempuan yang dikasihi terkadang membawa bara api perselisihan dan pertengkaran dengan keluarga kekasihnya. Mendapat luka akibat tertusuk panah beracun bisa dicari obat penawarnya, namun bila luka itu menanggung racun malu dan aib hendak kemana obat dicari; sejak saat itu laksana tubuh yang terpenjara kedua pecinta tak lagi leluasa untuk saling bersua, banyak mata telah mengawasinya dan kini si gadis telah terkurung rapat dalam sangkar emasnya .
Disaat kekuatan cinta telah memenjarakan hati, dan jarak telah memisahkan keduanya , ditempat kesunyian jiwa seperti itulah, akal dan perasaan yang berwujud bahasa hati; akan berbicara dengan hati lainnya.
Malam nan pekat boleh saja menyembunyikan pepohonan dan bunga ,
namun kegelapan tidak akan menyembunyikan dirinya dari jiwaku
Tiara boleh saja dikurung dalam sangkar emasnya,
Namun ku kan selalu menemani mimpi-mimpi dan keterjagaannya
ditiap pergantian malam
Diruang istana, Tiara- sang putri raja masih saja merenung , ia terus-menerus memikirkan hikmah dibalik semua perjumpaan serta mimpi-mimpinya, jemari kerinduan telah menggadaikan hati dan jiwanya, raganya telah teracuni madu cinta, sehingga wajahnya yang putih kini memucat pasi dan cahaya matanya-pun perlahan meredup laksana kegelisahan bulan dikala malam serta laksana kesedihan matahari diwaktu siang , sambil bersyair ia menuliskan suara hatinya pada secarik kertas.
“Wahai Pencuri hati, datanglah padaku ! ,
Tidakkah kau dengar rintih kerinduanku dikala malam?
Sampai kapan meski kutanggung derita ini,
Memanggul beban dunia – saat letih memanggil, masih bisa kubesandar,
Namun bila beban itu beban bathiniyah, meski kemana aku menyandar ?”
“Duhai kekasih , merindumu membuatku laksana kapal yang kehilangan arah, tenggelam dalam gelombang pusara Cinta, kini kekuatan kemudiku menjadi goyah, pandanganku menjadi kabur dan pendengaranku menjadi lemah.”….“Apabila engkau menganggap cinta itu pembebas, katakanlah padaku, dimanakah aku bisa dapatkan cinta seperti itu?”
“Kini hatiku tertawan oleh jaring-jaring cinta yang kau tebarkan kedalam hatiku, perlahan dan pasti engkau menghujam hatiku dengan busur panah cintamu- dengan itu semua ; tanpa memberikan obat atas luka-luka ku itu, kemudian engkau menghilangkan diri.”
“Bila air sungai kelak bermuara kelautan, sedang jiwaku hendak kemana ia berlabuh?
Oh, betapa pahitnya derita yang kini kutanggung !, sudikah kiranya engkau memikul beban derita ini bersama ? “
Begitulah adanya sebuah gambaran penderitaan Cinta dan bukanlah sebuah pasangan jiwa, jika sang pemuda tidak merasakan penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh belahan hatinya, Ia pun berprilaku sama seperti yang dilakukan sang terkasih.
Sering pula ia berbicara pada bunga-bunga ditaman atau berlari menuju puncak berbukitan, sambil membicarakan perihal ratapan dan kesedihan hatinya terhadap sang pujaan. Berbagai tingkah aneh tersebut seakan mencerminkan -tidak adanya seorang manusiapun yang peduli terhadap permasalahannya .
Dunia dimana ia bernaung seakan menjadi sesuatu yang asing baginya, kini kehidupannya menjadi tak teratur, penuh nelangsa tanpa seseorangpun yang peduli terhadapnya. Badannya tampak kurus dan bajau dan rambutnya tampak kumal laksana dedaunan termakan ulat-ulat kesedihan.
Namun demikian, cinta yang merasukinya telah memberinya kekuatan untuk menghadapi segala cobaan dan musibah yang bertubi menghampirinya.
Tiada hari yang berlalu dari kehidupannya yang nelangsa selain lamunan indah tentang kekasih, tidak pula ada waktu yang dihabiskan selain menuliskan syair-syair yang berisi ratap kesedihan maupun pujian .
Airmata keputusasaan jatuh berderai dari pipinya seakan-akan hendak berbicara dengan hati lainnya, laksana sebuah genangan air yang menjadi kaca pemantul bagi kebahagian dan juga penderitaan hatinya.
“Duhai cinta”, katanya ….”Dalam ketersendirianku yang mencekam, laksana langit yang tak pernah mengenal bintang -gemintang, aku terkurung sepi dalam kehampaan. Sejak dirimu hadir dalam mimpi-mimpi malamku , jiwaku terguncang dengan hebatnya, seakan akal sehat ku telah hilang akibat memikirkan dirimu. Engkaulah keindahan yang telah membuatku selalu terjaga, sentuhan jemari kerinduanmu yang berapi -telah membangkitkan dan membuat jiwaku terbakar dalam tungku bara api keabadian“.
.“Duhai Tiara!….Demi cintaku padamu aku rela dianggap gila, demi berjumpa denganmu aku rela menyusuri bebukitan, menerjang badai dan menahan petaka.” …”Tak pernah aku merasa letih dalam harap, dan tak pernah aku merasa jemu menggubah syair-syair keriduanku untukmu ”
“ Ketika jaring-jaring cinta menyulam ruang hati, menembus bilik keberadaan,
membuncah kesunyian, menghenyak keheningan, menggetar lautan,
terjaga Sang jiwa dalam titian siang dan malam”
“ Disaat panah-panah cinta datang menyambut,
Aku relakan hati ini berdarah, Ku relakan hati ini terluka,
Aku binasa, Maka kematianku adalah suka-cita, Tangisku adalah mata air dahaga.
Bulan begitu cantik dalam naungan bintang-bintang, langit tampak begitu cerah; secerah hati kedua pecinta. Sebuah keindahan malam yang mengilhami Satria untuk menemui Tiara. Sembari melantunkan syair Satria berjalan menyusuri jalan kampung yang berliku menerabas hutan dan mengarungi sungai. Apapun rintangan yang menghadang, dengan sukarela ia taklukkan demi berjumpa dengan kekasih hati.
Seakan tidak pernah kehabisan akal, sang pecinta selalu saja mendapatkan jalan untuk bisa bersua untuk sang kekasih pujaan hati, meskipun didepannya menghadang berbagai aral serta rintangan , apalah daya tabir dan penjaga yang bersenjata serta tembok nan tinggi lagi kokoh, semua pastilah kan menjadi sia-sia belaka. Laksana pasir atau debu yang terbang berserak tertiup angin, semua pembatas-pembatas tersebut menjadi luruh tak berdaya seiring dengan bangkitnya rasa cinta yang hangat dari dalam kalbu kedua pecinta.
Satriapun berjalan menyusuri kegelapan dengan keyakinan dan semangat yang tinggi seolah ada sepasang sayap yang menghantarnya pada sang terkasih.
Setelah sampai didekat alun-alun istana, Satria memperlambat langkahnya terlihat beberapa pengawal sedang berkeliling menjaga tiap sudut bangunan istana. Sambil mengendap-endap, ia menyusup memasuki sebuah taman- yang tepat berada didepan kamar sang Putri. Diatas balkon istana Sang Putri terlihat menunggu dalam kegelisahan, tampak rambut panjangnya terurai diterpai semilir angin dan terlihat pula sepasang matanya yang indah berkaca-kaca dalam keharuan,…
“ Duhai betapa cantiknya ia” , bisik hati kecil Satria. Bulir airmata keharuan tampak menitik dari kelopak mata Sang dewi , seakan hendak berkata agar malam ini menjadi malam yang abadi, sebuah malam pertemuan yang tak berpisah untuk selamanya. Tak rela bila kekasihnya menangis, kemudian Satria bersyair untuk menenteramkan hati sang terkasih :
Duhai bulan dan bintang masih adakah senyum dihatimu?
Adakah gerangan nestapa dihatimu kini?…
“Duhai cinta yang terbakar…Bakarlah gelora hati dalam jiwa hingga berabu”…
“ Menangislah jika harus menangis ….Maka tangismu laksana lautan tinta kasih, yang mengisi mata penanya dengan senandung harapan- akan cinta dan anugerah “…
“Tiap usapan tangismu , baginya laksana tarian hati, tarian pena- yang bergerak dengan sendirinya pada secarik kertas keabadian “ ….
Setelah mendengar kata-kata Satria, sambil memalingkan wajah cantiknya- Sang Putri mengusap bulir-bulir airmatanya yang terjatuh, kemudian dengan suara lirih dan penuh keharuan, ia berkata :
“Kudapati Cinta merupakan yang wujud sekaligus ghaib,
Cinta adalah ramuan kesembuhan dan juga kematian” …
“Bersama ketulusan hati , ia mengangkat , mengeringkan dan menyembuhkannya ,
atau bahkan melukainya kembali”…
Mendengar Tiara mengucapkan rangkaian syair nan menyentuh itu- Satria tersenyum, sambil memberi setangkai bunga mawar pada Tiara , kemudian Satria berkata :
“ Duhai Tiara !, Lihatlah batu ini dan lumut yang menutupinya, lebih baik bagimu menjadi lumut yang tak memiliki langit tuk berteduh , daripada menjadi batu permata yang sejak dari kelahirannya didekap keperkasaan gunung-gunung” .
“Apalah arti keindahan wujud baginya ?, Dan apalah arti kemilau cantik bagi dirinya- bila ia sendiri tak pernah merasakan sentuhan sinar kasih ataupun belaian lembut angin kehidupan “ . “Duhai kekasih hati, jangan pernah takut melangkah, buanglah keraguan diri ; karena dalam wujud cinta, segala macam bentuk keraguan adalah dosa kasihku “.
“ Lihatlah lumut ini dan belajarlah darinya, tidakkah kau lihat bahwa batu dan lumut itu beda, tapi lihatlah ia dengan setianya mendekap sang batu. “ Bagi dirinya mencinta adalah sebentuk pelayanan, mencinta adalah sebuah kebutuhan, mencinta berarti menghidupkan cita dan harapan” .
“ Demi orang yang dicintainya, ia rela terterpa panas dan hujan. Ia menyakini bahwa suatu waktu, sebongkah batu yang keras sekalipun- akan menjadi lunak karena sihir cinta”. “Apapun yang kau dengar tentang Cinta , apapun yang ingin kau katakan tentang wujudnya, ketahuilah bahwa inti Cinta itu sendiri adalah sebuah rahasia yang tak pernah terungkapkan” .
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Benny Hidayat
Bab 4. Roman Satria-Tiara
Bab 4
Buah waktu telah memasuki kematangannya yang ketiga dimusim penghijau. Dihari persemian indah itu; kedua pecinta berupaya tuk menyemai janji di sebuah taman yang berada ditepian danau belakang pojok istana.
Taman peraduan kasih itu begitu lapang. Dipagari oleh aliran air, beragam pesona warna bunga tumbuh subur dan menebarkan harum diatas permukaannya. Sedemikian cantik dan jernihnya taman itu, sehingga mustahil apabila ada sebuah jiwa yang berhasrat meninggalkan taman itu, sebelum memasuki pekarangannya. Dan tak mungkin pula ada jejak langkah yang dapat masuk ataupun keluar darinya, tanpa menyeberangi permadani kayu yang digunakan juga sebagai pintu gerbangnya.
Tepat disisi tepi badan danau, Satria menghentikan laju kudanya. Berseberangan arah dengan tempat ia berdiri, tampak Putri Raja sedang memotong kata dan merajut canda dengan beberapa dayang-dayang istana.
“Hai, pemuda asing ! Bagaikan gemuruh angin berani sekali kau mengusik ketenangan kami !, Tahukah engkau siapa yang akan terguncang akibat keterusikannya ?. Dengan sebuah pekik gema terompet hati , aku bisa mendatangkan seribu prajurit Ansaria untuk menangkapmu!”….
Kemudian sosok asing yang berada ditepian danau itu berkata,“Ku pasrahkan diri untuk tertangkap jaring-jaring Cinta, karena kuyakin dengannya Cinta akan membebaskan diriku yang lemah dengan mengikat jiwaku pada ketabahan serta keteguhan hati !”, ucap Satria sambil tersenyum.
“Bila ia kumbang maka memiliki nama, sedang engkau siapakah namamu?; lalu darimanakah kau berasal?”, tanya Tiara. “Atas kehendak apa kepak sayap cintamu menuju kesini ?!. Berterus-teranglah, siapa tahu jemari kebijaksanaanku dengan tulus akan mengampunimu. Lalu membiarkan engkau pergi melintasi awan dengan selamat !”
“Hamba seorang penyair dari suku Andasia, namaku Satria kedatanganku kesini untuk menangkap kalian semua!”
“Oh, berani sekali kumbang ini menggoda kami!, tidakkah sayapmu kan bergetar seandainya saja aku benar-benar memanggil sekelompok lebah itu dengan segera?!” pekik Sang Putri sambil tersenyum.
“Wahai pemata hati!”, ucap Satria dengan lembut.”Hamba tak takut terhadap ketajaman mata pedang manapun, kecuali ketajaman pedang Kehendak Yang Kuasa !”
“Hm, menarik juga pendirianmu. Baiklah. aku takkan memanggil lebah-lebah itu, dan kau dapat menangkap kami kalau memang mampu !. Tapi berjanjilah tidak dengan hunusan pedang, namun dengan bersyair!”. “Kalau kau menang, engkau boleh membawa keharumanku. Kalau kau kalah, engkau harus bersedia menjadi hiasan tamanku, setuju? ”
“Daulat Putri Raja !, hamba berjanji takkan menggunakan pedang ataupun cara kekerasan. Dan hamba juga akan menangkap Tuan Putri, tanpa bersyair. Apabila hamba nanti gagal, segala kepak sayap keindahan yang hamba miliki kan kuserahkan semua pada Tuan Putri, begitu juga dengan nyawa hamba. Tetapi kalau hamba berhasil, Tuan putri akan hamba bawa untuk dijadikan istri !”
Tuan Putri membelalakkan kedua kelopak matanya, yang justru nampak cantik di mata Satria. Dengan sedikit anggukan kemudian memberi isyarat kepada dayang-dayang untuk menurunkan jembatan agar dapat dilalui sipemuda.
Dengan memakai jubah penyamaran yang hebat, dengan bantuan Tiara beserta dayang-dayangnya, Satria berhasil memasuki taman yang dikawal ketat pengawal istana. Setelah berada didalam taman, Sang Putri menitahkan salah satu dayang-dayang pengiringnya, untuk mengantarkan kuda Satria menuju sebuah istal. Sedangkan Satria dibawa menuju kesebuah ruang pertemuan yang megah. Sebuah bangunan yang terpisah dari bangunan induk istana yang penuh dengan hiasan lilin serta rangkaian bunga yang tertata dengan apik dan menawan.
Setapak kemudian dengan tetap menjaga kehormatan diri, bertemulah kedua pecinta yang sejak lama memendam rindu, sedang dayang-dayang menunggu dan berjaga diluar guna melihat-lihat situasi keamanan.
Disaat keduanya telah mendekat satu sama lain, sedekat dua putik diantara dua bunga, angin kerinduan membawa jemari kasih mereka pada penyatuan. Keharuman semerbak mawar dimalam itu, seolah menyandungkan nafas cinta dari bibir kedua pecinta.
“Banyak bunga-bunga cinta layu sebelum merekah, ada yang terindah tapi wanginya tak selalu seindah bentuknya, atau bahkan mungkin ketajaman durinya akan menusuk dan melukai hati.”
“Walau demikian ia takkan pernah jera, baginya sebuah Tameng yang telah terbiasa tergores pedang cinta, takkan takut lagi bila harus tertusuk duri cinta. Begitu juga suratan nasib, ketetapannya pasti berlaku untukku, dengan menganugerahkan sebentuk sapuan wangi bunga; yang kelak harumi hari-hariku dengan hembus keharuman cinta kasih.”
“Wahai Cintaku, engkau laksana kilau cahaya bintang yang melintasi malam sepiku. Kehadiranmu laksana hujan berkah dari kesucian langit yang menghidupi pohon layu jiwaku dengan senandung airmata kebahagiaan. Takkala dirimu muncul diantara kabut mega, paras indahmu bagaikan setetes embun yang menyejukkan kesegaran pagi. Tanpa kehadiranmu mungkin saja kupu-kupu enggan mengepakkan sayapnya, bunga-bunga enggan merekah begitu juga surya enggan bersinar, karena engkaulah nafas keharuman ; mata air kehidupan”
“Dikala dirimu tersenyum, berhentilah perang; terhapuslah luka. Karena engkaulah cahaya ghaib yang diutus kedunia. Sihirmu membuat tatanan dunia menjadi terbalik, aturan menjadi tak berarti, hukum dan hakikat menjadi semu “
“Cinta itu sesuatu yang ganjil, datang secara tiba-tiba ; mengisi kesunyian ranting-ranting jiwa, membuat dahan hati kian berbunga ataupun mati terbakar oleh panas-teriknya”….
“Saat dirimu hadir dikedalaman sanubari, aku tak tahu, kenapa diriku tak dapat melepaskan bayangmu dari jiwaku. Engkaulah satu-satunya bayangan semu namun juga nyata yang bersemayam dijiwaku dengan segala keajaibannya. Engkaulah keindahan yang membuatku -tak lagi mampu memejamkan mata”
“Bagiku, tanpa memilikimu-pun aku sudah merasa bahagia, sudah bahagia kurasakan , bila kudapat menikmati keindahan sinar mata hatimu, karena engkaulah sumber inspirasi yang membuat seonggok patung marmer menjelma menjadi seorang pujangga cinta”….
“Engkaulah titisan dewa-dewi yang membuat anyaman-anyaman permadani diistana jiwaku, merdu suaramu bagaikan alunan kidung surgawi ; mengalir manja penuh kelembutan direlung jiwaku”…..
Sambil menatap paras langit, Satria menebarkan kembali semerbak harum untaian syair-syairnya ,”Wahai senandung malam !…Salahkah bila jiwaku terbang kedalam jiwanya, lalu membisikkan sajak-sajak termanisku untuknya ?!” ” Salah kah bila insan yang lemah ini, mencoba mengetuk hatinya lalu menawarkan cinta yang “beda” dari cinta lainnya?!”….” Salahkah aku wahai kaum pencinta , bila diriku yang papa ini mencintai seorang putri raja ?!”…..” Salahkah aku wahai peri , bila diriku masuk kedalam jiwanya , membaca pikirannya , lalu bernyanyi serta bernafas dalam tarikan dan hembusan yang sama ?!”
Dewi malam berbisik kepadaku, “Hanya keajaiban sajalah, hal gila itu dapat terwujud !….Namun aku merestui kegilaanmu anak muda !….’Engkaulah Pejuang Cinta yang paling gila yang pernah kulihat dan kutemui !’….’Dari kekerdilanmu, aku bisa melihat kebesaranmu, dari kemarahanmu aku bisa melihat kasih sayangmu’….’Dari kegelapanmu , aku bisa melihat cahaya terangmu’…..’Engkaulah sumber penaklukan beragam jenis cinta yang lahir bersama ketulusan hati…jurus-jurusmu mematikan setiap dara yang melirik, yang membuatnya terbuai dalam alunan syair merdu serta menerbangkan jiwanya , kesebuah alam perasaan- yang tak bertepi dan berdasar”
“Aku tak jemu-jemu,untuk membaca dan memikirkan kisah-kasihmu itu….sesuatu yang terindah , sebuah wujud keindahan cinta yang semu namun agung , nyata namun juga penuh nestapa. Senandung catatan hati itu -begitu lincah; serta mengalir dikedalam hati setiap orang yang membacanya ,walau sekiranya syair-syair itu harus merangkak dalam selubung kegelapan !.”
“Duhai Tiara Putri jiwaku, disaat bathin ini menari diujung kegelisahan malam, saat kepingan dusta mengalir diantara dua tepian hati, kuingin serpihan bunga-bunga kejujuran hati menjerihkan airnya”.
“Bila bahtera telah membawa letihnya menuju lautan pasang, kini tiba saatnya tuk mengalirkan genang airmata jiwamu yang tertambat, dengan membawa kemurnian cinta yang dulu pernah kau beri untukku, sebentuk cinta nan tulus tanpa sedikitpun keraguan”
Mendengar Satria menyandungkan bait syair yang sedemikian indah- Tiara pun tak mau kalah untuk ikut bersyair.
“Saat cinta berkunjung ,aku tak tahu harus berbuat apa….Dialah si-Jiwa misterius , yang terus menghantui dan selalu bernyanyi bagi jiwa sepiku. Ia setia melantunkan senandung surgawi didepan pintu jiwaku, walau dia tahu pintu itu takkan kubuka untuknya, dengan ketulusan hati, ia membacakan syair cantiknya sebelum ku tertidur…
‘Wahai kupu cintaku…syair-syair cinta telah pergi dan berlalu dari taman hatiku. Tapi aku masih tak tahu apa sesungguhnya cinta itu.’
“Ketika kau datang membawakan sekuntum bunga, aku kira itulah cinta. Ternyata salah. Aku rasa kau hanya bermaksud menitipkan sekuntum mawar yang terjatuh dari gerobak seorang petani bunga yang tak sengaja melintas didepanmu.”
‘Dari kebingunganku itu, aku ingin engkau percaya dan menyakini, bahwa dirimu tetap tinggal dihatiku dan aku tak dapat begitu saja memusnahkan kau dari jiwaku, kau telah menggengam hatiku dan engkau telah menenggelamkan perasaanku dilautan yang tak bertepi dan tak berbatas’
‘Duhai Satria kekasih hatiku, dirimu selalu kukenang, wujudmu tetaplah abadi. Walau engkau tahu hati ini sempat tertambat dengan hati yang lain, kuharap engkau takkan pernah kecewa, maka maafkanlah aku dan selamilah nestapa cintaku, dapatkah kau rasakan perasaan seorang gadis yang terperangkap dari seorang lelaki yang mengasihi dan lelaki lain yang mencintainya?!’
“Duhai pelangi, kadang aku mengharap jendela kamar ini ditebali dan diselubungi debu pekat agar cahaya mataku tak terlihat orang-orang yang melintas didepannya. Aku tak ingin menciptakan luka pada setiap jiwa-yang ingin sekedar mampir menghampiri jendela itu, seraya mengulurkan sesuatu yang membesarkan hatiku, tanpa tersadar aku telah memulai menghiasi matahatinya dengan kekecewaan, dengan lirih dan suara yang bergetar kuharap semilir angin akan mengabarkan semua rahasia hatiku padamu…..”
“Wahai Satria, seorang Raja diraja tak bermahkota dari kerajaan jiwaku. Beruntunglah engkau karena dengan tangan kesederhanaanmu, engkau bisa menyentuh segala sudut tepian langit. Celakalah aku yang hidup dalam kurungan istana nan sempurna. Dengan kamar-kamar mewah dan pelayan-pelayan setianya yang penuh pujian kosong serta sanjung puji bangsawan-bangsawan kaya- yang dari balik topengnya mengutuk ibuku karena melahirkan bayi perempuan, bukan lelaki. Menjilat tapak kaki Singasana kebesaran Ayahandaku tuk sekedar mendapatkan lebih luas lagi wilayah kekuasaan.”
“Atau tiada hari yang kulewati selain jamuan mewah yang penuh canda tawa kepalsuan. Menampilkan kecantikanku laksana manik-manik dan menjadikan ku sebagai hiasan diplomasi Ayahahandaku atas kepentingan politiknya terhadap bangsawan-bangsawan terhormat”.
“Dari pesta-pesta itu, tak kupungkiri banyak pangeran tampan yang menghampiriku, dengan berbagai kemulian dan kecerdasannya, namun demikian; tak sedikit pun dari mereka yang menarik hatiku. Aku bisa membedakan mana kumbang sejati- mana yang bukan. Lelaki mana yang mandiri, lelaki manja mana yang selalu berlindung dibalik nama besar keluarganya”.
“Kulihat dari segala kemewahan dan kemuliannya, setiap hasrat dan kehendak nafsu , dengan mudahnya mereka dapatkan. Kelopak bunga mana yang takkan luluh, ketika sebuah tangan mulia berusaha memetik suatu bunga atau mungkin banyak bunga. Dibalik kemulian-kemulian itu, kulihat ular melilit dipagar mewahnya, dan bisanya mengotori sebagian jubah kehormatannya”.
“Dengan perjamuan mewah, mereka undang gadis-gadis untuk mereka pilih. Apabila mereka tak suka atau telah bosan terhadap bunga-bunga yang telah ada dalam genggamannya , maka mereka akan mencampakkan bunga itu seperti ilalang”. “Dunia bisa membeli kecantikan, tapi dapatkah dunia membeli cinta dalam hati?!”
“Cinta tak pernah membudak dan tak pernah bertuan. Cinta bagaikan udara yang dapat dihirup oleh siapa saja yang mampu bernafas. Saat aku dan dirimu tenggelam dalam cawan cinta. Saat dua jiwa terapung dalam kesetiaan, mari teguhkan rasa ini bersama. Semoga saja keperihan hati yang dibawanya kan sirna, lalu terbang menjulang tinggi diawan hingga membawa kebaikan yang kan tercurah kedalam hati”.
“Wahai Satria, rayuan adalah suatu warna dalam cinta namun ada dinding dimana warna itu bersandar. Dan dinding itu adalah kecocokan, tanpa dinding itu tak ada gunanya segala sanjung puji. Apabila aku pernah tertawan sangkar cinta selain dirimu, aku melihatnya sebagai tuntutan tugas kenegaraan yang mesti ku emban; dan itu bukanlah Cinta.”
“Sanggupkah keindahan dunia fana menggantikan hati yang terluka akibat cinta?. Mungkinkah gemerlap emas dan permata menggantikan cahaya cinta yang bersinar terang didalam hati?. Dapatkah kau patahkan jeruji hati untuk melepaskan penghuninya dari penjara cinta?. Dan sanggupkah kebisingan pesta menenangkan hati Sang pecinta selain menambah kesunyian dan ketersendiriannya?”
“Begitu juga halnya Cinta, tidaklah cukup hanya dengan kata-kata nan indah, cinta bukan pula sekedar buaian lepas menuju peraduan, Cinta merupakan perahu pemahaman yang hendak bersandar diantara pantai kedua jiwa.. Sebuah penyelaman samudera jiwa yang kelak mengundang seulas senyum bahagia ataupun deraian airmata.”
“Dalam meraih sebuah ikatan cinta tidaklah semudah membalikkan sebuah telapak tangan. Kelabilan masa belia bagaikan setangkai mawar yang mudah tersapu angin. Dari kelabilannya itu, sang mawar hendak merekahkan kesempurnaan diri guna menghadapi rintangan dan godaan yang kan datang”.
“Pada kenyataannya, walaupun sekiranya sempat ada pria lain disisiku, itu semata karena aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku. Ketahuilah Satria kita tidak mencari kekuatan kebahagiaan atau kesengsaraan, melainkan atas keagungan Cinta ia menghampiri diri tanpa diundang. Kita tak mencari api, tapi bara api mendekati hati, kemudian hati sang pecinta terbakar olehnya.
“Cinta bagai Pohon kerinduan. Semakin dalam hasrat merindu semakin masak buah cinta itu. Cinta dicari adalah bagi mereka yang menempatkannya dalam keranjang nafsu dan bukan dari lubuk hati mereka.”
“Tentang derita cinta adalah keserakahan nafsu akan keberadaan hingga dia pergi pada kekecewaan akibat tak terpuaskan egomu, cintailah perasaanmu maka kau akan mengerti. Dari permasalahan yang mungkin pernah terjadi; dari semua puing kesedihan yang mungkin tersisa; semoga dapat menjadi penopang raga; yang menjadi cahaya kasih, embun penyejuk dan hikmah bagi jiwa. Sebuah batu sandungan yang meski dilalui, agar kita terlatih dan kuat guna menapak jejak dimasa kan datang ”. tutur Tiara.
“Demi perlintasan bulan dan bintang , janganlah mencari cinta yang lain darinya, biarkan sang lebah tuk sejenak kembangkan sayap- tuk terbang lebih tinggi! “ sambung Satria,
“Tahukah kau Tiara, kehidupan semesta ini dibangun dan diasuh atas nama cinta. Dapatkah kau rasakan penderitaan seekor merpati yang terkurung dalam sangkar emasnya lalu mendapati sayap-sayapnya telah patah, telah tersadar ia dari sesalnya memalingkan muka dari cinta sejati, sebagai anugerah Sang Pencipta, lalu mendapati tubuhnya telah dibeli oleh harta namun tidak bagi jiwanya.”
“Renungkanlah kasih, jangan kau silaukan matamu dan menitipkan jiwamu terhadap hal-hal keduniawian, karena itu tidaklah abadi. Lihatlah penciptaan anak-anak adam, bukankah mereka begitu murni ?!, hingga dunia membekap mereka dengan nilai dan aturan-aturan sesat yang mereka buat sendiri, hingga membelenggu sayap-sayap bebas mereka dan memaksa jiwa mereka merayap diatas permukaan tanah”
“Berjanjilah untukku, tunggulah barang sejenak, jangan sampai ada permata yang menodai kesucian cinta, sebelum ada sebuah ikatan yang pasti.
“Jikalau telah tiba waktu yang dinanti, kupasti hadir tuk bahagiakan dirimu seorang, kuharap adinda sabar menunggu. Berilah aku masa tuk wujudkan segala, ikrar ini terucap padamu dan takkan pernah ku lupa, janganlah berikan sebuah harapan, apabila Adinda tak sayang padaku, berilah aku jawaban untuk pegangan hidupku !.”
“Atau bila saatnya nanti tak ada kecocokan jiwa, bolehkah aku mengabdikan jiwaku untukmu?. Biarkanlah aku selalu berpuisi tentang Cinta, karena dengannya jiwaku menjadi teduh dengannya jiwaku bernyanyi.”
“Saat jerit suara hati mengalunkan lagu kepedihan jiwa, mohon kiranya engkau tinggal sejenak tuk menemani airmataku, tuk teteskan airmata dari kain keberadaannya. Rajutlah kain kesedihan ini , dengan kasih yang kau tenun dengan benang jiwamu”
“Wahai kekasih hati, Cinta yang kubawa padamu adalah kekuatan untuk memberi, tanpa aku harus menerima. Kekuatan yang mengikatku untuk terus bersamamu, walau sekiranya tidaklah mudah bagi raga tuk bersatu, namun senantiasa jiwa kita kan bersama, itulah hakikat cintaku – tulus dan apa adanya!”
“Wahai angin, saat kau sebar benih anggun jiwanya dengan melodi syahdu kelembutan hati, aku disini terdiam terpana. Aku tiada menuai sedikitpun buah cinta dari benih-benih yang kutebarkan diladang jiwa.”
“Janganlah berkata seperti itu wahai Satria”, tutur Tiara. Kemudian ia melanjutkan, “Cinta adalah sebuah menara kekuatan, walau jiwa kita harus mandi dalam kobaran api namun hanya dengan jemari keagungannyalah kita mampu bertahan. Karena ia adalah perwujudan kekuatan Ilahi, yang bersemayam dari hati yang tulus, hingga tidak ada kekuatan yang dapat menggantikannya selain kekuatan Cinta”
Duhai kekasih hanya karena Cinta kita mampu bertahan. Berjanji dan teguhkanlah hati dan jiwa , tuk dapat lewati aral rintang ini bersama!”
Langit ternyata belum berkehendak kepada kedua pecinta untuk berlama-lama dalam sebuah pertemuan suci. Ketika tengah asik berduaan menikmati suasana yang mesra , tiba-tiba terdengar suara gaduh diluar ruangan. Para dayang menjerit histeris tampak mereka sedang berusaha menghalangi beberapa prajurit yang memaksa masuk. Terdengar suara derap kaki , desing tameng dan senjata memecah keheningan malam.
Kedua pecinta saling memandang dan terperangah kaget, mereka beranjak dari tempat duduk mereka. Lalu bersama-sama menuju tirai, dua pasang kelopak hati mengintip keluar melihat dengan seksama tentang apa yang tengah terjadi. Tampaklah sekelompok prajurit Ansaria bak barisan semut, sedang mendekati mereka dengan langkah tegap disertai sikap kedisiplinannya yang tegas.
“Dimana pemuda itu?, berani benar ia mempermainkan kami, dimana ia sekarang berada biar kami ringkus segera !”, kata pemimpin prajurit terhadap dayang-dayang. Satria melihat wajah Tiara menjadi pucat dan khawatir. Dan Satria telah mencium bahaya yang mengancam diri dan kekasihnya. Tak lama berselang, Tiara Sang Putri Raja keluar dari ruangan, dan berkata pada prajurit yang menjemputnya,
“Hei, prajurit ! , apa yang kalian sedang lakukan disini, ketajaman duri apa gerangan yang hendak kalian cari dalam gundukan jerami ?” Tanya Tiara dengan suara lantang. Pemimpin prajurit maju, menghaturkan sembah kepada Sang Putri.
“Yang Mulia Putri Tiara, hamba hendak meringkus seorang penyusup yang masuk kedalam rumah peristirahatan ini, konon ia berbahaya dan licin seperti ular ”, kata pemimpin pasukan.
“Wahai panglima, siapa yang kau sebut sebagai penyusup itu?!, bila kau sebut dia ular maka ia memiliki nama!” Tanya Tiara dengan geram. Sementara itu Satria semakin waspada dan bersiaga untuk menerima isyarat menghindar dari Tiara.
“Yang hamba maksud, wahai puteri Tiara, adalah Satria ibn Syahbana. Dia orang yang sangat berbahaya dan Sri Baginda Raja Nalendra telah memerintahkan hamba untuk menangkapnya,” ucap pemimpin pasukan.
“Dari siapa Ayahanda mengetahui bahwa diruanganku ini ada pemuda bernama Satria?!, bisakah ia bedakan antara keindahan warna kupu-kupu dan sisik ular ?!” Tanya Tiara. “Sri Baginda mendapat laporan tersebut dari paman Tuan Putri, begitu juga dengan desir angin serta jejak rerumputan telah mengabarkan keberadannya disini ”, kata pemimpin pasukan.
“Ah, lagi-lagi pamanku itu !, aku rasa dengan sengaja ia hendak menyudutkan dan melemparku dalam genangan minyak agar dengannya, Ayahanda membakarku dengan kemarahannya!” kata Sang Putri. “Padahal bisikan madunya belum tentu benar semua!”…”Hei, rasanya aku baru pertama kali melihat tuan, siapakah sebenarnya tuan?!”
Pemimpin pasukan menghaturkan sembahnya lagi. “Tuan Puteri tentu anda tidak mengenal hamba. Karena hamba baru saja diangkat sebagai Panglima perang Kerajaan Ansaria !, nama hamba Jayakesna. Mohon maaf sekiranya kedatangan hamba membuat Tuan Puteri merasa tidak nyaman. Maafkanlah atas kelancangan kami semua, yang membuat gerah rumput dan bunga ditaman. Namun hamba sekedar melaksanakan tugas yang mesti hamba emban, maka ijinkanlah hamba untuk memeriksa ruangan ini!”….
”Mudah-mudahan Anda tidak mempersulit tugas kami, karena hamba tidak akan kembali keistana dengan tangan hampa, bila manusia dipegang kata-katanya maka kehandalan seorang prajurit dilihat dari keberhasilannya ! ”.
‘Panglima Jayakesna, disini sekarang memang ada orang asing. Tapi dia adalah tamuku, keselamatannya ada ditanganku !”
“Tuan Puteri, paman Anda menerangkan bahwa tamu Tuan Puteri adalah penjahat yang berbahaya, ia dicurigai membawa bisa yang amat mematikan dan kami mesti bertindak serta menangkapnya secepat mungkin demi keamanan dan keselamatan Tuan Puteri !”
“Panglima Jayakesna, engkau telah membuat kesalahan yang sulit kuampuni!”…
”Maksud Tuan Putri?!”….
“Pertama-tama kau telah masuk keruangan ini tanpa seijinku, dan kesalahan terbesar kedua engkau telah membikin gaduh dengan berlaku kasar terhadap dayang-dayangku!”
“Maafkan hamba Tuan Puteri ,didalam menjalankan tugas kami dituntut untuk bertindak cepat ,tegas dan tanpa pandang bulu. Sri Baginda membebaskan dan membenarkan segala tindakan kami didalam bertindak -baik dengan bijak atau dengan cara-cara kasar sekalipun”
“Aku menghargai segala daya upaya kalian semua, namun dapatkah kalian bertindak layaknya seorang ksatria yang terhormat?!”…..”Dapatkah kau menyatukan tindakan dan kehormatan seiring sejalan dengan tindakan yang kau laksanakan?!….Janganlah merasa sebagai abdi yang paling setia terhadap Raja, bila kesetiaanmu tak mampu menjaga martabat seorang putri Raja dihadapan tamunya!”
“Maafkan hamba Tuan Puteri !”.sapa Panglima dengan halus
“Panglima Jayakesna yang terhormat,, tanpa disertai para prajuritmupun kalian akan mampu menangkap orang yang tuan maksud. Seorang yang kalian sebut penyusup yang kini menjadi tamuku, seseorang yang kuhormati dengan segala kemuliaanku !”.
“Demi menjaga martabatku, simpananlah kembali pedang-pedang kematian itu kedalam sarungnya, kemudian datanglah menuju alun-alun utara malam ini juga. Maka insya allah akan kuminta agar ia menemuimu disana !. Saya harap Anda memiliki sedikit kesabaran, karena aku tak ingin ada setitik darahpun menetes diruangan ini! . Dan ini merupakan sebuah titah dari seorang Puteri Raja, kuharap panglima bisa menerimanya dengan lapang dan bijaksana ! ”
Mendengar kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Sang Puteri Raja, membuat wajah panglima Jaykesna menjadi merah padam. Kemudian ia berkata pada sang puteri,
“Apakah Tuan Puteri menjamin, ia akan menemui saya?!, bagaimana kalau ia kabur, sementara saya menunggu?”
“Aku bertanggung jawab, dan aku bersedia menjadi gantinya kalau dia melarikan diri !”
“Baiklah, kalau itu merupakan keinginan Tuan Puteri. Hamba menghormatinya dan hamba mengharap Tuan Puteri menghargai keputusan Hamba dengan menjunjung sebuah kehormatan dan kepercayaan yang hamba berikan, yakni dengan menepati segala janji yang terucap oleh Tuan Puteri ”…sambil menghela nafas kemudian ia berujar, ’Hamba menunggunya dialun-alun istana sesaat lagi!’. Panglima Jayakesna lalu memutar tubuh dan meninggalkan puteri. Entah karena tersinggung atau lupa, ia sengaja tak menghaturkan sembah untuk kembali kepada pasukannya, kemudian ia meninggalkan Sang Puteri diikuti oleh pasukannya.
Puteri Tiara menghampiri Satria, “Tak usah khawatir, kau tak perlu memenuhi tuntutan panglima, lagipula aku tak ingin engkau celaka!. Engkau bisa lolos dari hadangan mereka melalui terowongan rahasia yang berada dilantai bawah ruangan ini. Dengan mengikuti jalurnnya engkau akan selamat menuju dinding luar istana. Ayo ikuti aku, akan kutunjuki terowongannya !”
“Bagaimana dengan Anda Tuan Puteri, bagaimana nanti dengan keselamatan Anda?!.Bilakah Sri Baginda murka terhadap anaknya sendiri ?!”
“Tak usah khawatir , engkau bukan perampok atau pemberontak !. Lagipula ayahku seorang yang arif dan bijaksana, ia tak pernah sekalipun membuat Puterinya menitikkan airmata. Ia teramat sayang dan segala perhatiannya hanya tercurah untukku seorang, karena hal itulah aku akan berusaha menyakinkan dirinya agar mau sependapat denganku !”…”Tentang Panglima, tenanglah ia juga tidak akan dihukum oleh Ayahandaku, karena aku akan membelanya juga. Sekarang lekaslah engkau meninggalkan tempat ini, kudamu telah disiapkan. Percayalah segalanya akan baik-baik saja !.”
“Tapi bagaimana dengan janjimu?, janji tetaplah janji dan harus ditepati, karena apabila engkau sengaja melanggarnya maka hal itu akan menodai kemuliaanmu !”
“Aku hanya membela Cinta, sesuatu yang aku anggap benar, apalah arti kemulian bila harus menebusnya dengan penghianatan, darah dan airmata ?, aku takkan rela kebenaran itu dilibas oleh kebenaran lainnya dengan cara yang tak lazim. Aku rela berkorban demi Cinta dan ini juga demi kebaikan bersama!”..”Satria !, berjanjilah untukku bahwa engkau akan segera pulang dan kembali kerumah dalam kondisi baik-baik, Aku tak ingin sesuatu terjadi pada dirimu !”.”Hindari pertumpahan darah. Karena bagaimanapun juga, kita semua adalah keluarga besar dari Kerajaan Ansaria, kita semua memiliki pertalian bathin dan kita semua bersaudara !”
“Baiklah, aku akan memegang teguh pesan-pesan persaudaraanmu. Namun aku akan tetap menemui panglima sebagai rasa tanggung jawabku padamu dan juga dirinya. Aku akan berusaha untuk menghindari segala kemungkinan terjadinya sebuah pertikaian !”..sambil mengecup kening Tiara, sebagai tanda perpisahan, Satria berkata ”Jaga dirimu baik-baik , berdamailah selalu dengan Ayahanda !”
Pergilah Satria meninggalkan istana melalui sebuah terowongan bawah tanah. Sesampainya diujung gerbangnya Satria terkejut karena sekelompok pasukan telah menantinya disana. Salah seorang pemimpin prajurit menghunuskan pedangnya lalu menyerang Satria dengan membabi buta.
Satria segera menyambutnya dengan ayunan pedang.Bertarunglah mereka dengan sengit. Tampak ayunan pedang saling berbenturan keras, memancarkan bunga api .Lenguhan nafas dari para petarung memecah kesunyian. Dalam gulungan debu mereka saling mengelak, menyerang dan menangkis. Satria bertarung laksana banteng yang terluka, ia tampak lincah memainkan pedang dan tenaganya seakan tak menyusut sedikitpun ketika meladeni musuhnya. Tak lama kemudian Satria berhasil mendesak lawannya, musuhnya tersungkur dan pedang terlepas dari tangannya, lalu Satria menghampiri prajurit itu sambil menempelkan mata pedang dileher calon korbannya ia berkata, “Aku bukan musuhmu, aku kesini membawa pesan perdamaian …perintahkan kesepuluh anak buahmu untuk mundur dari barisan pertahanan dan biarkan aku lewat. Karena aku akan menemui Panglima perang kalian dialun-alun utara sekarang !”
Sambil melambaikan tangannya sebagai isyarat, pemimpin pasukan itu berkata. “Singkirkan semua penghalang, biarkan ia lewat !”. Tak berapa lama, pasukan yang tadinya bergerombol dan siap menyerang akhirnya mengurungkan niatnya, lalu membiarkan Satria melintas dengan perasaan geram.
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Benny Hidayat
Bab 5.Roman Satria-Tiara
Bab 5
Persahabatan adalah harta yang ternilai , pada saat tubuh terhempas badai, saat hidup dan mati menjadi lembaran-lembaran kehidupan yang abadi, mata setajam elangpun dapat saja menjadi kabur- lengan yang kokoh mendadak menjadi tak lemah berdaya dalam situasi seperti ini , seseorang akan merindukan hadirnya sahabat yang dapat menjinakkan ketersendirian, menghilangkan ketakutan dan kesedihan yang melanda hati.
Karena rindu yang tak tertahan , tubuh Satria menjadi tangkai yang mngering dan ia mulai mengembara menjelajahi bebukitan dengan berjalan kaki, menangis dalam debu, tertawa dan berbicara disetiap sudut jalan memanggil-manggil nama sang terkasih. Bagaikan sebuah dedaunan yang terlepas dari tangkainya, dirinya kini terombang-ambingkan oleh pikiran dan perasaannya yang kacau, tiada waktu bergulir serta angan yang terlintas dalam benaknya, selain bersyair menyebut-nyebut nama sang terkasih.
Duhai Tiara…
Engkau adalah keharuman nafas surgawi , yang membuatku tak lagi mampu untuk memejamkan mata…
Sihirmu begitu mempesona , membuat hati yang gersang ini menciptakan kedalaman samudera yang nyaris sama dengan kedalaman jiwa…
Hanya untukmu seorang , seluruh kerinduanku , impianku , angan dan harapanku berlabuh , karena hanya engkaulah segala keinginan bermuara…
“ Wahai Tiara, ditepian air berkilau cahya purnama ini …masihkah kau teringat akan diriku?!”…
“Ketika kau melemparkan sebuah batu ketengah-tengah sana, lemparan ku berjarak empat tombak – lebih jauh dari lemparanmu!”…
“Dimalam ini aku kesepian Tiara”…”Ketahuilah bahwasanya bayang indahmu tak sedikitpun luput dari pikiranku, selamanya ia bersemayam abadi dikedalaman jiwa!”
“Engkau laksana cahaya bintang yang melintasi malam sepiku, dan parasmu bagaikan setangkai mawar yang menyambut dan menyejukkan kesegaran pagi,”
“Tanpa kehadiranmu mungkin saja kelopak bunga enggan merekah, mentari enggan bersinar – begitu juga kupu enggan tersenyum ; karena engkaulah nafas keharuman ; mata air kehidupan…..
“Saat dirimu hadir dikedalaman sanubari….aku tak tahu , kenapa diriku tak dapat melepaskan bayangmu dari jiwaku”….
“Engkaulah satu-satunya bayangan semu juga nyata yang bersemayam dijiwaku dengan segala keajaibannya…Engkaulah keindahan yang membuatku -tak lagi mampu memejamkan mata” ….
“Disaat kuteriakkan namamu dari balik bebukitan, apalah daya hanyalah gema yang kembali”,…
“ Duhai Tiara, Takkala kutatap kedua matamu, seakan ia hendak berbicara….Kesedihan tak dapat kau sembunyikan , sekalipun engkau tersenyum,……..
“Dan aku memahaminya…..Mengapa harus meredup kasihku ?!”….
‘Kembalilah bercahaya…..bila cinta ini yang akan menyembuhkanmu…aku akan membawanya kembali”.
“Ketahuilah, aku membawa cinta ini pergi untuk kukembalikan lagi padamu, jika engkau siap menerimanya kembali”.
“Percayalah bahwasanya kepergianku adalah sebuah pengembaraan didalam hatimu, sebuah pengembaraan dalam pengabdian cinta,”…
“Duhai Tiara diatas prasasti ini, dahulu kita pernah duduk bersama, memandang kerlip ribuan bintang… Masihkah kau ingat Tiara..tepat diatas sana !, sebuah tepian sudut langit berwarna keemasan yang pernah kau tunjukkan padaku,….. atau takkala kau sadarkan diriku tentang merdunya suara burung sebelum mereka beranjak dari sarangnya?!”
“Dari semua kenangan yang tercipta itu, dengannya aku berjanji takkan pernah lelah menyayangimu, walau cinta ini tak pernah teraih, namun tak apalah asal engkau tetap singgah dan tersenyum dalam hatiku!”
“Karena, engkaulah Dewi yang membawa hari-hariku menjadi indah dan penuh warna.
Engkau dan hanya engkaulah yang mengisi kesunyian malamku dengan dendang bintang dan bulan, Engkau jualah si pembawa kunci, bagi pintu kebahagiaan jiwaku, Dan Engkau jua-lah mata air kehidupan bagi dahaga jiwa”.
“Dalam ketulusan hati , jiwa ini tunduk pada kepasrahan hatimu, meski mereka berkata , suatu saat cinta ini akan meluruh dan sirna, namun engkau tetap abadi selamanya dihatiku !”
Dia , sipujangga cinta terus menyebut nama “Tiara” yang telah mengunci mata hatinya namun jeritannya hanya bergema dan memantul ditiap bukit-bukit kesedihan. Bulir-bulir airmatanya yang menetes dari pipinya mengering begitu saja bagaikan setitik embun yang menguap oleh pancaran terik keperihan hati.
Dalam lautan gema seperti itu tak seorangpun memahami dan mendengar rintih hatinya, begitu juga dengan Tiara tebalnya dinding istana beserta barisan tentara yang menjaganya membuat dirinya lengah, dan tak begitu memperhatikan kehidupan Satria yang begitu nelangsa, baik karena cintanya yang terbelenggu; juga terhadap ketersendiriannya yang mencekam.
Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu, beberapa teman Satria telah beberapa kali berupaya untuk membujuk dan mengingatkan Satria, agar dirinya jangan sampai membelenggu kehidupannya yang bebas, dengan memenuhi isi otak dengan perangkap-perangkap cinta yang melenakan serta manyadarkan diri satria yang sedang dimabuk cinta, agar menghidupi ketersendiriannya dengan keriaan pesta-pesta.
Mereka berpesan kepadanya, “Wahai sahabat, lupakanlah segala khayal gilamu, Tiara merupakan seorang putri raja -seorang pewaris tahta kerajaan, tidaklah mungkin punguk merindukan bulan, mustahil bagi tangan menyentuh langit !…untuk apa engkau mencintai setangkai mawar, sedang engkau tidak memiliki harapan untuk bersanding dengannya ?!” …“Untuk apa engkau lari dari kenyataan hidup lalu memperbudak dirimu dalam ikatan cinta yang semu serta mengaburkan matamu dari sesuatu yang nyata ?”….
“Adalah sebuah ungkapan yang menyesatkan, bila ada yang mengatakan cinta sejati itu ada, dan hujaman panah cinta keabadian hadir dari pandangan pertama !… Kami rasa dirimu sedang mengalami keletihan, maka dari itu bertindak segila ini !”…”Wahai Satria, Peri cinta dari dunia manakah yang akan mengubah seekor katak menjadi seorang pangeran?!”…..”Dapatkah sang katak terbang melompati keangkuhan tinggi jendela istana?!….aku rasa sebelum katak itu melompat, mendekatinyapun ia akan segera mati oleh ketajaman pedang dan anak panah yang berjaga disekelilingnya!”
”Segeralah kembali kedunia asalmu, sebuah tempat dimana Tuhan telah menganugerahkan segala kebaikan bagi segala ciptaan-Nya, biarkanlah kehendak Tuhan berlaku untukmu dan janganlah engkau permainkan segala hasrat dan harapan indahmu dengan berbagai pandangan-pandangan kosong yang menipu kehendak hati.”
“Marilah kita bersama merentangkan sayap-sayap masa muda, tuk terbang menyusuri taman-taman hati guna memetik sekuntum bunga yang mudah dijangkau oleh tangan-tangan kecil kita, dan janganlah engkau mengunci dirimu dalam ruang yang sempit, serta menengelamkan dirimu dalam syair-syair kerinduan, tanpa seseorangpun yang menjawab segala kerinduanmu dan juga obat penawar bagi penyakit cintamu!.”
“Mengapa kau bertutur seperti itu wahai sahabat ?” tutur Satria, …”Tidakkah kau ketahui bila Cinta itu sesuatu yang universal, bahwasanya keagungan Cinta tidak mengenal batas ruang dan waktu?…Cinta bukan hanya untuk sepasang kekasih, Cinta itu begitu banyak penjabarannya, dan apabila aku belum memiliki kekasih dalam artian wujud, bukan berarti aku berlidung dan membohongi diri dalam kesejatian cinta , ketahuilah itu wahai sahabat!”
“ Saat kegelapan tiba , melalui lentera kemurahan-Nya,
aku membaca catatan hidupku yang penuh dengan duka dan cita,
Didalam gelap hati , dengannya aku bisa melihat sudut tepian yang senantiasa tersembunyi atau bahkan sengaja disembunyikan-Nya.
Disaat cahaya ini meredup, ataupun lenyap untuk selamanya,
Maka Jiwaku tak ikut mati bersamanya,
Dan atas nama keagungan cinta,
Allah menciptakan Hawa bagi Adam untuk menenteramkan gundah hatinya.
Kalau saja Allah berkehendak untuk meniadakan cinta ,
pastilah Dia akan menciptakan satu jenis makhluk,
Dalam keagungan Cinta Allah memelihara ciptaannya,
dan dengan cinta pulalah,
manusia mengagumi dan mengenal Penciptanya !”
Mendengar syair-syair tersebut si-sahabat menjadi malu, ia menarik kembali semua ucapannya, tidaklah mereka ingin menambah kepahitan sebuah buluh, yang telah terkerat melodi kepedihan hati. Dan tentulah si sahabatnya tak bermaksud menyindir ataupun menyakiti hati sang pemuda ,maka dari itu -si pemuda segera merangkul dan memaafkan kesalahan sahabatnya itu
Walau duri nan tajam pernah menusuk kelembutan daging, namun apalah luka yang tergores pun kelak akan kering dengan sendirinya, tak mengapa ada sedikit kepedihan, toh sang sahabat hanya sekedar mengingatkan. Sejak peristiwa itu persahabatan mereka menjadi kuat, dan mereka telah berjanji untuk saling menjaga layaknya saudara yang memiliki pertalian darah.
Adakalanya persahabatan menjadi sebuah permusuhan, Suatu saat cakar-cakar yang tajam, lebih dibutuhkan untuk menggali bebatuan- daripada kuku-kuku yang tumpul lagi halus, maka dari itu janganlah menghindari musuh-musuhmu perihal kejeliannya akan kelemahanmu; melainkan belajarlah kelemahanmu yang terpatri pada mata dan benak mereka.
Kerinduan pada sang terkasih telah menginspirasi Satria untuk bersyair, kelabilan emosi telah membuat kreatifitasnya meningkat. Seolah tidak menghiraukan berbagai cemoohan yang terlontar padanya, ia tetap saja bersenandung menyebut-nyebut nama sang terkasih.
Dimana saja Satria berada, maka yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah Tiara dan Tiara, anak dari Baginda Raja.
Duhai Tiara ,
Memikirkan dirimu membuatku selalu terjaga dari tidur,
Aku berteman sepi , jiwaku mengembara susuri bukit dan belantara kesunyian,
Merindumu membuat jiwaku terbakar,
Laksana sebatang lilin, meleleh pula segala harapanku,
oleh api keterpisahan.
Tahukah kau Tiara,
Orang-orang mencelaku karena menganggap cinta ini sebuah hasrat nafsu,
Keluarga dan kerabat menasehatiku untuk meninggalkan dirimu,
Mereka tak tahu bahwa beban derita yang kutanggung adalah atas kehendak dari-Nya,
Duhai Tiara !,
Dalam genangan airmata , ku selami palung jiwamu
Dalam balut keputusasaan , aku memasrahkan diri,
Dalam himpitan derita, ku tersenyum padamu,
Dalam cercaan dan hinaan mereka, aku menahan diri.
Pikiran yang kalut terkadang membuat sipenderita menjadi mudah tersinggung, dalam kelabilan seperti ini terkadang peran orangtua serta keberadaannya, sangatlah dibutuhkan bagi si anak. Namun terkadang orangtua terlalu menganggap sepele permasalahan anak muda, mereka mengabaikan permasalahan anaknya seolah kegilaanya akan berakhir seirng dengan perjalanan waktu
Tidak saja dialami oleh Satria dan kelabilan emosi ini terjadi juga pada Tiara, tak seperti biasa wajah yang biasanya cerah -belakangan hari menjadi muram laksana langit yang tertutup awan kelabu. Kelakuan ganjil tersebut membuat bingung dan gundah sanak keluarga Tiara.
.
Begitulah, tak seorangpun tabib penyembuh didunia yang mampu mengobati penyakit yang ditimbulkan akibat cinta, selain kehadiran sipemberi penyakit.
Saat malam menjelang ketika banyak jiwa tertidur dalam peraduan maka keindahan jemari impian yang berapi selalu membuat jiwa sang Putri terjaga; dari balik kilau bintang-gemintang; ia selalu merindu pantulan cinta kasih dari mata sang tercinta .
“Duhai, penyakit apa kini yang telah dideritanya!” ; “ berbagai ramuan telah diminumnya, berbagai tabib ahli telah diundang untuk mengobati penyakitnya tapi penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh malah semakin menjadi !”….begitu tutur bibi Amelia, pengasuh Tiara sejak dirinya dilahirkan
Dalam kebingungan seperti itu; bibi Amelia, Sang pengasuh membujuk Tiara untuk dapat berbagi penderitaan sebagaimana ia telah berbagi kesenangan padanya.
Disebuah ruangan megah, disuatu tempat pembaringan berhiaskan warna-warni bunga, tampak seorang dara duduk terpekur disudut ruang kebisuan, matanya menerawang jauh…terlihat tetes demi tetes bulir airmata jatuh membasahi pipinya yang halus. Tak terdengar sepatah katapun terucap dari lidahnya , hanya desis kesedihan serta keputus-asaan sajalah yang bergema dari bibir kesunyian itu. Dari belakang punggung sigadis seuntai tangan halus menyapa pundaknya, dalam kegundahan hati kemudian ia berkata…
” Duhai anakku tercinta….duri apakah gerangan yang membuat permata hatiku yang selalu bersinar penuh ceria, selintas berubah laksana awan mendung -yang menutupi indahnya mentari ?!’…’Katakanlah wahai putri jiwaku, siapakah wujud yang tega membuat belahan hatiku ini, berderaikan rintik airmata kesedihan ?!”…..
“Apabila ada sebuah duri yang menancap dikulitmu, maka dengan kebijaksanaanku, aku akan menariknya keluar “. “Apabila ada sebuah taman jiwa dan setangkai bunga yang memikat hatimu, kuingin engkau menjadi pemelihara dan pemilik darinya, bukan sebagai budaknya!”
“Duhai bibi…aku tak tahu apa yang kini kurasakan….aku telah jatuh hati , namun ku tak berdaya karena yang aku kasihi hanyalah sebuah bayangan, sebuah bayangan yang semu namun nyata adanya, Dia-lah bayangan yang telah membuat sinar mataku kembali memancarkan sinar harapan yang sekian lama telah meredup,”
” Sebuah bayangan yang jauh dari pandangan mata namun dekat dihatiku…..aku sendiri masih bingung didalam memaknai semua ini , seandainya saja aku ceritakan semuanya padamu, mungkin engkau akan mentertawakan dan menganggap diriku berprilaku ganjil, karena kesemuanya ini berangkat dan berawal -dari ketulusan yang gila dan kegilaan yang tulus!!”….
Sambil tersenyum dan membelai rambutnya dengan jari-jari kebijaksanaan , wanita tua itu berkata dengan lembutnya, “Ceritakanlah buah hatiku, aku akan mendengarnya sekalipun itu cerita paling aneh dan paling ganjil sekalipun!”
“Pada suatu redup senja, jiwaku bertemu dengannya disuatu persimpangan jalan yang aneh, sebuah jalan ghaib yang tak sengaja menuntun dan mempertemukan langkah kami……jiwaku dan jiwanya saling berbagi cerita dan bertegur sapa, entahlah bibi, saat itu aku merasa ia adalah teman langitku, aku merasakan seolah-olah sisi ruang dari diriku ada didirinya!”….
“Namun entahlah …dari suatu lamunan ke lamunan lainya , jiwaku seakan menerawang jauh, dan dari lamunan itu sesekali waktu -dengan tiba-tiba saja aku mengharap , suatu saat bayangan itu memang ada wujudnya, dan memang nyata adanya….tetapi kemana aku dan dia, bisa mencari wujud dari masing-masing diri ?!…”sedang hasrat jiwa hanya bisa mengharap pasrah, kepada keajaiban – keajaiban yang membawa kami dalam suatu pertemuan yang nyata !” …..
‘Mungkin saat itu aku tak pernah menganggapnya dirinya ada , karena hal ini memang berangkat dari sebuah jalinan semu, ia tetaplah bagaikan sebuah bayangan, sisi lain dari jiwaku berkata : “aku harus menggunakan akal sehatku, aku tak boleh terbuai, ya…tak boleh! “…. sesaat ia menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya kembali….
“Waktu telah lama berlalu , kucoba melupakan dan mengakhiri kisah-kisah semu itu, lalu mencoba merajut kehidupan yang lebih nyata….dan ternyata sang nasib berkendak lain , serasa tak ingin mengakhiri segala kisah yang ada, takdir mempertemukan kami…ajaib memang !….Alam seakan-akan memiliki ceritanya sendiri !…seandainya aku mengetahui keberadaannya disana !….mungkin saat itu aku akan tersenyum padanya, kan kuberikan padanya seutas senyum- yang takkan pernah bisa terlupakan sepanjang hidupnya!”…”Yah, seandainya saja….dan seandainya saja aku bisa membalikkan waktu !”
“Duhai bibiku tercinta, di saat hari-hari dan musim berhiaskan langit kesedihan serta merintikan hujan airmata duka, ……..”
“Entah bagaimana, Tiba-tiba saja jiwaku menangis untuknya,….dipersimpangan jalan itu aku kembali teringat padanya, -aku telah meninggalkannya seorang diri !”…
“Disaat hewan-hewan kembali kesarang disaat badai melanda , aku meninggalkannya seorang diri dipadang kesedihan itu….Oh, Sang Pemurah dan Pengasih-betapa kejamnya aku !….”Dalam keremangan malam yang dingin ini, apakah ia masih bernyawa?….dikeramahan- sudut tepian langit manakah ia berteduh?….dimangkuk ajaib manakah ia mengenyangkan kesedihannya ?!”.
Dengan jemari lentiknya sang dara menyapu bulir-bulir airmata kesedihan ,sambil menahan isak tangis yang dalam ,ia berhenti sejenak .Tampak dua mata indahnya berkaca-kaca seakan menembus batas dinding-dinding kerinduan…..sesekali ia menutup wajah cantiknya, kemudian dengan terbata-bata dan dengan sisa-sisa kelembutan hatinya – ia mecurahkan perasaannya kembali …..
” Duhai keego-an diri, apakah ia masih memikirkan diriku ?…apakah ia masih mengharapkanku , apakah ia masih menungguku dipersimpangan jalan itu, tahukah ia bahwa aku tak pernah berniat meninggalkannya ?…apakah ia sudi menerimaku kembali sebagai sahabat bagi jiwanya?!”…”Kenapa aku seakan diam saja wahai kesunyian malam , kenapa jiwa ini seolah-olah tidak memperdulikan keberadaannya, walau sebenarnya aku peduli?!”….”Apakah sang sahabat mengetahui ketulusan hatiku ini ?…Masihkah ada rasa sayang itu ataukah kebencian yang ada dibenaknya kini ?!…….”Duhai badai jiwa yang kini berkecamuk….aku tak berani membayangkannya !”….
Dalam kegundahan jiwa, sang dara memeluk bahu bibi tercinta -lalu menangis sejadinya,……. laksana anak sungai yang mengalirkan air kehidupan, tampak tetesan bulir airmata kasih -mengalir deras dari kelopak-kelopak jiwanya.
Sambil membelai rambut indahnya bak mayang terurai., sang bibi membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan bathinnya , laksana ibunda bumi yang sedang mendongengkan kebijaksanaan kepada bunga dan rerumputan, ia berkata :
“Duhai permata hatiku !…lihatlah koin emas ini, walau ia merupakan satu kesatuan- ia tetaplah dua sisi yang berbeda !”
“Begitulah jalan hidup , tak ada yang sama….takdir memang mengharuskan kita memainkan peranan yang kita harus mainkan…dan begitulah memang jalan hidup yang meski dijalaninya !”
“Janganlah bersedih untuknya, tersenyumlah !…bukankah kebahagianmu , kebahagiannnya juga ?!”…”Berdoalah untuknya, sebagaimana ia mendoakan kebaikan padamu !”…
“Berilah doa- doa yang akan menguatkan keteguhan hatinya!”…”Itu lebih baik daripada engkau bermuram durja !”…”Janganlah menambah kesedihan untuknya !”…
“Bila kau rindu padanya serukanlah kerinduanmu kepada burung-burung yang melintas diangkasa, dan apabila ia mendengarnya, maka ia akan rentangkan sayapnya lalu menjemput jiwamu yang bersedih diruang kehampaanmu ini, bukankah ia pernah berkata seperti itu padamu ?!”
“Duhai buah hatiku, Yakinlah bahwa kekasih sejati adalah ketika kamu menitikkan air mata, maka dengan kebesaran cintanya ia tetap peduli terhadapmu.Sebuah kekuatan abadi yang ketika kamu tidak mempedulikannya dan dia masih menunggumu dengan setia.. Ketulusan sejati adalah Saat Sang kekasih mulai mencintai orang lain dan dia masih bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu‘…
”Duhai mawar asuhanku tercinta, Mulai detik ini, luruhkanlah segala kedukaan yang merisaukanmu……tepiskanlah segala gundah. Bernyanyilah untuknya agar ia tabah dan kuat menapak dijalannya!”…”Tulislah dan tuangkanlah segala rasa hatimu, walau ia tak pernah sekalipun membaca senandung jiwa ini, kuyakin mata hatinya dapat memahaminya!” . Sang dara tampak tersenyum lega…ia mengecup pipi lalu memeluk bahu sang bibi dengan sejuta rasa kasih, seandainya bulan dan bintang melihat ketulusan itu , pastilah mereka akan dibuat iri olehnya, iri atas ketulusan cinta kasihnya !
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Ketatnya pengawalan istana membuat kedua pecinta tak dapat lagi bertemu, walaupun hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal demikian membuat jiwa Satria sedemikian putus asa. Karena tertekan dalam keputus asanya ia memberanikan diri untuk berkeluh kesah terhadap sahabatnya !
“Duhai sahabat , ternyata ada benarnya perkataan yang kau ucapkan dulu !….Kini Tiara tak dapat lagi kutemui, Sang Raja mengancamku untuk tidak menemui anaknya, Tiara telah terkurung rapat dalam sangkar emasnya.” “Kini tidaklah mungkin tanganku yang kecil ini menjangkau langit , menjangkau dirinya yang dengan sebuah ketulusan hati yang dengannya aku mencinta! ….dalam ketidak-berdayaanku ini, aku bersumpah dalam selubung kehormatanku untuk tidak menyerah didalam meraih cintanya !”
Malang benar nasib Satria, ia memahami dirinya sebagai anak yatim tak mungkin pantas bersanding dengan Putri Raja, maka dari itu ia berpamitan kepada sahabat-sahabatnya untuk pergi meninggalkan tanah kelahirannya untuk berniaga kenegeri seberang. Cita-citanya hanya satu : mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya yang kelak digunakan untuk melamar Tiara, sekaligus mencari keberadaan Ayahandanya yang telah bertahun-tahun tidak ada khabar beritanya.
Dan ia melihat disana; tiada lagi yang dapat diharapkan dari lingkungan dan kerabatnya, harapannya pelahan telah kandas. Ia menjadi orang asing ditengah-tengah komunitas manapun.
Pikirannya menjadi kalut , kini ia merasa negeri kelahirannya yang penuh keramahan telah menjadi negeri yang bengis , kasar dan penuh kecurigaan, dimana ia tak tahan lagi berlama-lama untuk tinggal dan bertahan didalam naungan langit nan hitam tersebut. Maka dengan perasaan berat ia meneguhkan hati untuk meninggalkan Kerajaan Ansaria.
Pada suatu kesempatan , Satria mengutarakan niatnya untuk hijrah kepada tetua suku, setelah mendapat ijin tersebut ia mengemasi barang-barang dan menyiapkan kudanya. Setelah berkemas-kemas Satria menyalami para handai taulan dan sahabat, salah satu sahabatnya yang bernama Saladin tiba-tiba muncul dihadapannya.
Satria berpesan padanya untuk mengabari kepergian dirinya pada Sang Putri. apabila suatu saat nanti, ada suatu kesempatan untuk berjumpa Sang Putri diseputar alun-alun Istana.
“Satria aku ingin mengucapkan suatu rahasia untukmu!”, bisik Saladin. Almarhumah ibuku berpesan padaku, apabila tiba masanya, aku harus menyampaikan sebuah rahasia padamu. “Apa rahasia itu Saladin?!”,tutur Satria berharap-harap cemas.
“Ayahmu bukan menghilang, namun sejak kepergian ibundamu, ia tak mengakui dirimu sebagai anaknya!”.
Betapa hancur hati Satria mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Saladin, namun ia berusaha tegar menghadapi itu semua. Kekecewaan tampak jelas tergambar diwajahnya yang selalu tergores oleh kepedihan. Dari mimik wajahnya tergambar jelas kedukaan yang dalam, menandakan kemarahannya yang hebat, lebih hebat dari amukan topan ataupun letusan gunung berapi. Namun dihadapan suku besarnya, Satria berusaha meredam semua badai yang bergolak didalam hati. Sambil membungkukkan badan, ia naik keatas kuda dan melambaikan tangan perpisahan kepada handai taulan.
Satria menarik tali kekang kudanya, ringkikan getir nafas sang penunggang menyatu dengan tunggangannya. Perlahan kaki kudanya melangkah menjauh meninggalkan tanah kelahiran yang amat dicintainya, perlahan-lahan kuda yang ditungganginya menghilang meninggalkan debu dan jejak persahabatan yang selamanya terpatri didalam kalbu masyarakat suku besarnya.
Kepergian Satria membuat sebagian kelompok masyarakat menjadi sedih karena telah kehilangan sosok penyair yang mereka idolakan, sebagian lagi menyambut dengan lega akan kepergiannya , karena bisa terhindar dari kemungkinan murka sang Raja akibat ulah gilanya terhadap Tiara.
Kini keterpisahan telah mendera kedua pecinta , perasaan keduanya menjadi hampa sejak sang terkasih tak tinggal lagi disisi, derai bulir-bulir airmata kesedihan menyelimuti hari-hari mereka laksana sebuah bahtera yang tengah berlayar, serta terombang-ambing ombak pada lautan lepas, dan si nahkoda telah hilang entah kemana.
Duhai Tiara setiap saat slalu kulantunkan syair kerinduanku untukmu , Kususuri jalan berduri ini sambil menapak-tilas jejak langkahmu,
Tanpa lelah kuberjuang tuk berjumpa denganmu, merambah badai dan petaka, menyambung malam dengan siang tanpa teduh menaungiku
Duhai Tiara Saat kukenang dirimu , jiwaku terguncang, anganku melayang, akal sehatku hilang.
Dihari ini disaat kutatap wajahmu dibalik remang cahaya purnama, jiwaku bernyanyi, hatiku menjadi teduh , kedukaanku mendadak lenyap, meski tak tahu apa yang kan terjadi setelah ini.
Duhai cinta , seandainya saja aku mempunyai dua hati satu kan kuberikan tuk hidupku, satunya kan kubiar tersiksa dalam cintamu.
Duhai keindahan yang menawan hati, kembalikanlah cinta yang ada padamu kepadaku, jika tidak tinggalkanlah aku !
Jangan biarkan tubuhku menjadi sasaran anak panah mereka-mereka yang menghinaku.
Jika saja kata-kata dapat melukai tubuh, tentu tubuhku telah penuh luka karena ucapan mereka.
Duhai bumi tempat keindahan sejati menghampar, Disaat ku berjalan dalam genggaman tangannya,Kurasakan jiwaku dan jiwanya tertawan dan tergadai dalam genggaman kuku-kuku hitam.
Seakan dunia menjadi tempat asing- dimanapun kami berpijak , dimanapun kami tinggal. Hanya dikeabadian tempat kami bertemu “.
Satria terus memacu kudanya, sesampainya dialun-alun istana, ia menghentikan dan merapatkan kudanya disebuah taman. Dengan penuh kehati-hatian ia memasuki taman istana tersebut , sebuah tempat dimana ia dulu sering berpadu janji dengan Tiara, tampaknya Satria meletakkan sepucuk surat, disebuah pot bunga kesayangan dari Sang Putri. “Semoga suatu saat ia membaca pesan ini !” ujar Satria dalam hati.
Setelah meletakkan sepucuk surat, secara pelahan ia kembali menjalankan kudanya. Sambil matanya memandang jauh menuju jendela istana, kembali ia bersyair :
Duhai kekasih hati,
Kenyataan hidup mengharuskanku untuk pergi, membawa beban dunia ketika letih memanggil- aku bisa menyandar,
membawa sebuah beban bathin, ketika letih memanggil- kemana aku mesti menyadar?
Duhai kekasih,
Janganlah pernah risau akan kepergianku, karena kepergianku adalah sebuah pengembaraan didalam hatimu,…
Sebuah pengembaraan dalam pengabdian cinta
Tidak bisa dipungkiri bila ku jatuh hati padamu, namun ketahuilah, ketakutan-ketakutanku itu tidak seluruhnya hilang,
Lebih baik aku memendam derita kasih ini dan menelannya dalam bahagia , Daripada mengungkapkannya dalam ketidakberdayaan jiwa,
Aku menyadari aku bukanlah yang terbaik, namun ku akan mencoba memberikan yang terbaik…dengan berat hati, aku telah jujur pada diri , untuk berani jatuh cinta,
Namun sadarilah duhai Tiara, aku ini bukanlah siapa-siapa, bila kau percaya akan cinta dan hidupku, percaya juga tentang kisah si lumut, maka datanglah padaku
Bagaimana engkau akan memasuki sebuah bahtera , bila tidak mengenal seutuhnya dari sang nahkoda ?!….
Namun bila kau telah mendapatkan yang terbaik dan kau bahagia, maka bahagiamu juga bahagiaku….
Percayalah dan aku berjanji tak ada lagi airmata, tak ada lagi penantian…..
Karena sang bahtera telah memahami bahwa jiwa itu , bukanlah tempatnya untuk berlabuh….
Dan bagimu Satria,
Berhentilah tertawa dalam airmatamu !, Masih banyak hal lain yang meski diperbaiki,
Memilikinya bagaikan mimpi disiang hari, bagaikan tangan ingin menjangkau langit !
Oh, betapa mabuknya sipemuda ini !…Sudah berapa gelas anggur cinta yang tlah direguknya?!.
Dalam kehidupan ini,Tak ada yang bisa menduga arahnya cinta, dan bagimu Tiara, bila tiba saatnya nanti, …
Kita telah berusaha mencari takdir kita masing-masing, tuk memberikan yang terbaik bagi diri,
Aku ingin engkau menungguku disana, menungguku hingga batas waktu !
Jangan pernah sekalipun risaukan diriku….ketersendirian bukanlah hal asing bagiku!,
Disaat waktu mengaharuskanku untuk pergi, maka aku akan pergi,
Disaat aku akan kembali, maka aku kan kembali !
Namun simpanlah kisah ini,
Karena dengannya aku ada,
Dengannya aku memiliki nisan.
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Benny Hidayat
Bab 6.Roman Satria-Tiara
Bab 6
Dalam penziarahan cinta, ombak lautan yang membawanya pergi pada sang kekasih adalah deburan sejati yang mengalir dari samudera ketulusan hati. Langkah kaki yang diayunkannya, bagai degup jantung yang menghidupi dan memelihara kekasihnya dari nestapa dunia. Sedang semerbak untaian kata yang ditebarkan keudara bagai senandung abadi, yang dinyanyikan bidadari surga.
Dapatkah kemurnian cinta menahan hasrat untuk membahagiakan kekasihnya?, mungkinkah bulan akan membiarkan matahari untuk bersinar selamanya tanpa saling melengkapi dan mengisi kekosongan hari?! .
Telah bermil-mil jauhnya Satria meninggalkan kerajaan Ansaria menuju kerajaan Tradasia. Selama dalam pengembaraan tersebut, ia menuliskan kegelisahan hatinya pada daun lontar. Ia susun kepedihannya itu hingga menjadi gulungan permadani syair nan indah.
“Duhai Tiara ! walau dalam pengembaraan spiritual ini kau tak disisiku, namun bayang indahmu selalu bersemayam dalam relung sanubariku”.
“Dari tiap helai dedaunan yang kutingalkan, namamu selalu tertinggal dan mengakar pada paras bumi. Setiap kulantunkan syair kerinduanku untukmu, maka burung-burung yang mendengarnya seakan malu untuk ikut bersenandung”
“Duhai Tiara, dikeremangan malam ini, berpayungkan temaram cahaya bulan, kulihat sosok bayang indahmu, menyapa halus sudut-sudut tepian langitku yang senantiasa berbintang”
“Kemudian kulihat engkau mendendangkan lagu-lagu cinta di puri jiwamu, atau kulihat dirimu berdiri dtepian senja, lalu dengan sorot mata tajam; sambil menatap langit pucat kemudian mengubah warnanya- dengan mata yang memancarkan indahnya pengetahuan”.
“Entah berapa banyak hari-hari keputusaanku telah sia-sia berlalu, tuk sekedar mencari bayangan lain selain dirimu.”
“Engkau dan hanya engkaulah bayangan semu yang akrab diantara kehampaanku, dari mimpi-mimpi malamku, sering kulihat wujud hidupmu dan menyaksikan jemari lentik putihmu menari diatas dawai kecapi”.
“Sepasang mata itu telah membangkitkan dan membimbing begitu banyak impian indah dalam diriku, Aku tak bisa menghitung berapa kali aku putus asa mencari jelmaan lain dari dirimu”.
“Tiada keindahan yang dapat mewakilkan , kecuali indahnya sajak-sajak termanis yang tercipta itu,yang bisa dibandingkan dengan keindahanmu”
“Engkau laksana cahaya bintang yang terus menyinariku berabad-abad lamanya, Takkala bayangan malam telah datang, dirimu hadir membukakan pintu jiwa- bagi ruhku, sebuah tempat dimana semua keabadian terdiam membisu dan segala kepalsuan -terkuak warna aslinya”.
“Wahai pujaan hati,, dimalam ini aku masih saja memikirkan dirimu, tak sedikitpun ku mampu tuk pejamkan mata, tak sedetik pula kau luput dari ingatanku, kuharap engkau masih dapat tersenyum dan menari dalam genangan airmataku. Dan semoga saja engkau masih merindukanku walau sekiranya ku jauh dari sisimu ”
“Tahukah engkau kekasih tak ada kelopak bunga yang merekah ataupun melayu tanpa sepengetahuanku, dan kulihat dirimu terbaring dalam selubung mawar, Kau terbaring dalam luka lama yang belum mengering,tanganmu tak lagi bergerak, kau beku dan pucat. Bagiku saat itu adalah malam gelap tanpa dasar, Jangan pernah menangis lagi “Cinta”-ku…. Tahukah engkau …saat aku melihat bintang itu- aku melihat diriku ada dalam dirimu, dan dukamu juga cerminan dukaku”…
“Duhai Tiara, telah begulung-gulung daun lontar kutulisi dengan percikan tinta airmataku, dan telah banyak pula kuas-kuas anyaman hati, kutarik dan kuikat untuk menulisi perihal pesona keindahanmu…semua ini kulakukan semata-mata untuk mu permata hati !”.
“Bila ku telah selesai menyusunnya, dari tepian langit Kerajaan Tradasia aku ingin sesegera menghembuskan pertama kali untukmu seorang. Sebab dibawah langit inilah, aku menemukan kebebasan diri tuk melukiskan suasana hatiku, dibawah langit kecerdasannyalah- mereka dapat menghargai karya-karyaku!”
Telah banyak benang-benang waktu yang terajut dalam kain kesunyian hari, sudah banyak kepompong sutra yang telah disinggahi, telah banyak pula kepeng emas dan sanjung puji berhasil ia kumpulkan. Namun keberhasilannya itu tak membuatnya bahagia, baginya makna bahagia yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa berjumpa dan menyatukan jiwa dan raganya bersama kekasih pujaannya..
Ia tak mengharapkan sanjung puji karena Tiaralah satu-satunya tujan hidup tempatnya berlabuh, karena Tiaralah yang telah menjadi denyut nadi dan juga nafas hidupnya.Wahai dunia nan kejam, Tiara kini telah jauh dari pandangan mata, melihatnya dari balik tirai dan mencium keharuman rambutnyapun kini menjadi sebuah kemustahilan, apalagi dapat membelainya?.
Walau kini banyak emas yang ia genggam, bagai bandul intan dengan tali yng melilit dilehernya, disetiap keadaan- disetiap waktu , karena beratnya bandul itu seakan membuat dirinya tenggelam dan terlena dalam lautan gelap pusara dunia . “Hanya Tiara, hanya Tiara kebahagiaanku yang sejati!”, ujarnya lirih.
Sayang gadis itu telah ditinggalkannya jauh seorang diri. Bagaimana mungkin sang terkasih dapat tersenyum kembali, bila kekasih tak berada disisi. Ia bagaikan sekuntum bunga yang layu walau hidup diatas tanah yang subur. Cahaya matanya yang biasa bersinar kini menggantunngkan awan kelam dilangit-langitnya. Dapatkah jiwa memikirkan sejenak, guna membayangkan cahaya matanya, takkala Si Gadis jelita itu menyandungkan senandung bait-bait syairnya?.
Bayangan Tiara seperti ini membuat hati Satria menjadi gundah gulana, walau secara kasat mata ia tak melihat Tiara, namun gejolak badai yang bermain dihatinya tak dapat ia sembunyikan sekalipun ia tersenyum. Dalam benderang cahaya hari, ia tetap saja merasa sunyi walupun sekiranya berada ditengah keramaian kota,dan membuat jiwanya selalu saja miskin walau sekiranya emas-permata berkilauan memenuhi tapak tangannya.
Dalam keterasingannya tersebut, Satria menempatkan jiwanya dalam sebuah gua persembunyian. Ia merasa mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan hati takkala berada dalam kesunyian tersebut dan hanya dengan kesunyian seperti itulah ia dapat berteriak, tertawa ataupun menangis menyebut-nyebut nama kekasih, tanpa ada yang melarang ataupun menghina dirinya.
Ditiap gemirincik aliran anak sungai dan langkah yang ia lewati, tak sedikitpun waktu yang melintas tanpa pujian bagi sang terkasih. Bibirnya tak pernah letih dalam bersyair, dan tak pernah pula membingkai segala doa dan harapan yang telah terpahat dalam hati. Seakan telah menjadi obat penghalau awan kepedihan dan juga kekuatannya dalam menapak jejak-jejak langkah kerinduan.
Bila kekasih merindu pada bintang yang bersinar terang dalam hati, dapatkah kepalsuan cinta menyembunyikan cahaya indahnya dari hati?, dapatkah bujuk rayu harta dunia membahagiakan bathinnya selain menambah kepedihan jiwanya ?.
Mungkinkah hingar bingar pesta pora menghilangkan ingatannya pada sang terkasih selain menambah kesunyian dan keterasingan hatinya?.
Betapa anehnya bila dunia bila menganggap kemurnian Cinta, adalah jalan sesat yang membawa pelakunya jatuh kedalam lubang yang curam dan gelap. Tidakkah mereka sadari bahwa cahaya surgalah yang membawa dan menuntun mereka, dalam rengkuhan kasih Ilahi.
Dunia boleh memiliki tangan yang kekar untuk memisahkan keduanya, dunia boleh melingkarkan untaian bukit emas untuk membelenggu tangan dan kakinya, namun dapatkah dunia melawan kehendak tangan Tuhan, yang telah menyatukan keduanya- dari keterpisahan ?!.
Bagi jiwa Satria, hanya cintalah yang ingin ia kecap dan rasakan. Ia tak malu walau dirinya terlihat kumal dan berantakan karena Cahaya Cintalah yang ingin ia gapai, dan hanya anggur Cintalah yang ingin ia reguk.
Ia telah mabuk dalam pengembaraannya mencari sang terkasih. Dalam perjalannya itu tak sedikit manusia yang mentertawainya, menganggapnya gila serta melempari tubuh sang pecinta dengan batu dan kotoran.
Mereka tertawa kegirangan ketika melihat sang pecinta menjerit kesakitan, mereka tersenyum puas manakala darah mengucur dari tubuhnya yang terbungkus balutan tulang- belulang.
Mereka menutup hidung dan membuang pandangannya ketika sang pecinta lewat, namun pada saat yang sama menangisi suara-suara surga yang mengalun merdu dari bibirnya, serta mendekap bayang-bayang sang pencinta di kesunyian malamnya..Ketika kesunyian itu lebih dalam lagi, mereka mengejar sang pecinta hingga keatas bukit lalu merentangkan tangan kasihnya sebagai seorang sahabat.
Oh betapa anehnya dunia dan betapa malangnya nasib pecinta ini, ketika ketersendirian membaluti tangkai harinya dengan kegersangan, maka keluarlah senandung kelembutan hati nan indah yang mengalun dari kerongkongannya yang dahaga.
“Duhai Tiara, aku telah berusaha meraih harta dunia untuk menggapai cintamu, namun kini telah kusadari bahwa Cinta itu ternyata lebih mahal harganya dari sekedar harta dunia!”. “Aku telah bahagia menjadi aku dengan segala aku, aku takkan memaksakan kehendak untuk menjadi seseorang yang bukan diriku!”.
“Inilah aku Tiara, ketika manusia mentupi hidungnya ketika berjumpa denganku, sedang dirimu maukah kau sejenak duduk disampingku sambil menebarkan keharuman rambutmu untukku?.
“Mampukah keshalehan dirimu mendoakan suatu kebaikan, bagi diriku yang malang ini?, dapatkah bibir merahmu mengalunkan syair-syairku sebagai penguat langkah,penyembuh kalbu?!”…
”Duhai kekasih, tetaplah bersemayam dalam hatiku, hiasilah hariku ini dengan senyum indahmu yang menawan. Sentuhlahlah luka yang menganga ini dengan lentik jemarimu yang halus, lalu basuhlah darahnya dari kain ketulusan, yang telah kita rajut bersama -dari benang jiwa.”
“Medekatlah cintaku, janganlah merasa malu bila berada disampingku.Bertandanglah barang sejenak dihutan-hutan kesunyianku. Reguklah kesegaran mata air yang mengalir dari sungai-sungainya. Sapalah kehangatan surya yang bersinar teduh dari balik rimbun pepohonannya.”
“Di hutan rimba ini begitu indah kasihku, angin berhembus, daun bergoyang, burung berkicau riang. Dikesunyian ini tak pernah aku mendengar suara ratap tangis, dalam hutan yang rindang ini, tak pernah aku melihat manusia tergeletak karena lapar.Betapa inginnya aku menceritakan ihwal keindahan ini kepadamu, dan seandainya saja kita dapat melewatinya bersama!.”
“Wahai Tiara, aku tahu saat ini engkau hidup bagai merpati yang terpenjara dalam kurungan emas sanak keluarga yang mengasihimu , namun dapatkah kau sejenak melihat keterasinganku ini?!, dapatkah dua bola indah matamu membuka dan melihat kehidupanku yang nestapa?, Mungkinkah senyum indahmu membasuh kepedihan hatiku. Dapatkah ketulusan cinta mu membangkitkan jiwaku yang telah lama mati?. Tahukah kau kekasih, dengan langkah gontai; terlunta-lunta aku menyusuri padang kesunyian tanpa seulas senyum sedikitpun menyapa diriku. Mereka; orang-orang beradab ini menjauhiku, menganggapku hilang ingatan , menghardik dan menista diriku, seolah aku ini sampah yang menjijiikan; hantu yang menakutkan. ”
“Duhai kekasih hati, Cinta telah mengikat jiwaku dan menyimpulkannya dengan benang jiwamu. Dalam rajut ketulusan ini, aku memohon padamu, agar senantiasa menjaga kain kesucian cinta dari tangan-tangan kotor yang hendak menjamahnya. Jangan kau biarkan gunting-gunting nafsu dan kancing kemewahan dunia menggadaikan kain kebersahajaan kita”.
“Duhai belahan jiwa, biarlah dirimu kukenang sebagai sebuah telaga yang selalu menghilangkan dahaga jiwaku. Biarlah keteduhan binar matamu memayungi hari-hariku yang penuh nestapa. Dan biarkan pula hembusan angin membawa keharuman rambutmu sebagai nafas penopang raga. Biarlah semua terbingkai dalam hatiku ini, sehingga dari balik linangan airmata, kudapat menjalani hari-hariku dengan indah dan penuh warna kebahagiaan.”
‘Wahai pohon cemara yang bergoyang, engkau adalah sebuah menara yang menjadi saksi bagaimana cinta telah mematahkan segala harapanku, dan menyiksaku dengan hujaman ayunan kapak agar dengannya aku tunduk dibawah kaki aturan adat dan kemuliaan dunia. Walaupun demikian ku senantiasa tersenyum padanya, dan kuyakin dengan senyumku ini, putik-putik hatinya dapat merasakan kebahagiaan walau dirinya berada jauh dari sisiku. Dan aku akan selalu mengenang keberadaan cintanya, seolah ia sendiri berdiri dihadapanku, menyapa dan tersenyum padaku walaupun sekiranya ia jauh.”
“Wahai Penguasa kalbu, dari dekapan erat jemari kasih sayang keluarganya., biarkanlah api cinta selamanya berpijar serta memancarkan cahya kasih dalam lilitan sumbu lentera hatinya. Payungilah sang pecinta dari panasnya dunia, siramilah bunga-bunga cinta yang telah tertanam dalam jiwanya agar selamanya bersemi, mengharumi hari serta menghiasi kehidupan lelaki lemah ini dengan keindahannya.Teguhkanlah hatinya,Ya Rabb supaya sang pecinta dapat menjaga kebun-kebun cintanya yang telah tersemai.”
“Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, anugerahkanlah Tiara padaku serta dekatkanlah hati dan jiwanya untukku. Engkaulah Ya Rabb, Yang Berkuasa penuh atas segala catatan takdir makhluk-makhlukMu dari awal hingga akhir kehidupan. Semaikanlah putik-putik kebahagiaan kedalam taman hatinya, kuatkan dan tentramkanlah hati sang pecinta dari kegelisahan dimalam tak berbatas dan bertepi ini. Anugerahkanlah kesejukan dan ketenangan bathin dimalam ini kepadanya, yaitu dia yang terus merentangkan jubah kasihnya; serta mengingat cintanya saat orang lain terlelap tidur. Dan dia yang bagaikan bunga matahari, menundukkan tangkainya -sujud mencium bumi, dan berdoa,bermunajat pada-Mu untuk kebaikan serta kebahagiaan hidupku.”
“Tuhan, dalam letihku ini…aku menghaturkan doa padaMu, disaat tubuhku melemah dan pendanganku menjadi kabur, aku memohon dengan kekuatanMu, ringankanlah langkah kaki sang Mutiara hati, untuk menemui diriku yang lemah dan tak berdaya ini. Wahai Penggenggam hidup, apalagi yang mesti kuperbuat, bebaskanlah aku dari lilitan derita. Sandingkanlah jiwaku dengannya dengan kekuatanMu. Lalu hidupkanlah jiwaku yang mati dengan cahya kasihMu, hindari serta selamatkanlah aku dari perangkap kematian, yang sengaja dicipta dan dipasang untuk melukai diriku. Kini selagi ia berusaha mendekati pijar jiwaku, maka pulihkanlah tenaga dan kekuatanku agar ku dapat pula melangkah menemui pujaan hatiku.”
Mendengar senandung yang begitu indah, alampun menekukkan tubuhnya dalam keharuan. Sesaat burung-burung berhenti berkicau. Matahari yang biasanya tersenyum dibalik awan, kini telah menyembunyikan muram wajahnya dalam kelambu awan kelabu. Langit nan cerah mendadak bermuram durja, hingga menitikkan airmata duka.
Hanya kesejukan udara yang mungkin masih setia memberi keharuman mawar dalam rongga dadanya yang sesak. Dalam hembusan tulusnya, sang angin seakan ingin mengingatkan diri agar dirinya selalu tersenyum, dari indah putik indahnya -seakan hendak mengingatkan sang pecinta agar selalu ceria dan melupakan sejenak segala resah hatinya.
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Benny Hidayat
Bab 7. Roman Satria-Tiara
Bab 7
Sebuah tatapan mata teduh nan tulus adalah pancaran hati menembus dinding-dinding keberadaan, pancaran mata ini mampu mengungkapkan kata pujian yang tak mampu diucapkan oleh lidah. Sama halnya dengan Satria, takkala bibirnya sementara berhenti bersenandung , maka pancaran teduh kilau matanya seakan berbicara dengan cahaya mata lainnya, seolah menjadi muara ilham yang tak pernah mengering.
Betapa malangnya nasib pecinta ini, betapa ia ingin selalu membahagiakan kekasihnya. Memelihara kekasihnya dengan basuhan embun cinta nan tulus. Namun apalah daya taman indah dimana sekuntum mawar yang ia cintai tumbuh mekar berseri; telah dipagari dinding kokoh dan dikelilingi oleh duri-duri nan tajam. Sehingga ia tak selamanya dapat merawat bunga cintanya, apalagi slalu berada disisinya. Dan bukan kehendaknya pula pabila bunga cinta itu menjadi layu.
Masih teringat ketika Satria dan Tiara masih bersama, mereka bagaikan sepasang kekasih yang menyelam dalam samudera ketulusan cinta yang satu, mengayuh dan menarikan suasana hati serta menyanyikan kidung cinta dalam tarikan dan hembusan yang sama.
Bagaikan sehelai kelambu perlintasan rentang jarak dan waktu mendekap ketersendirian Tiara, hari demi hari yang terlintas bagai sebuah simphoni kepedihan yang menghiasi hari-harinya yang kelam. Begitu juga dengan derap langkah dan hembusan angin yang terpijak dan terhirup oleh sang puteri raja, telah membawa banyak berita tentang kehidupan seorang penyair yang hidup seorang diri dibelantara kesunyian, berbicara dan berteman pada tumbuhan dan hewan. Seseorang yang dalam ketersendiriannya, selalu menyebut nama kekasihnya Tiara.
Perumpamaan perasaan -tentang hasrat kasih, yang hendak dituamgkan kedalam mangkuk hati sang tercinta, ibarat gunung api yang panas yang mengalirkan lava hingga dapat melumerkan segala yang dilewatinya, begitu berkobar dan menggelegak.. Begitu ajaibnya cinta, seolah tak ada sekat pembatas yang mampu menahan laju ketulusan dan juga kehendak sucinya.
Dalam sangkar emasnya Tiara selalu mengenang Satria, kalbunya selalu diliputi kecemasan perihal keberadaan kekasihnya. Bagaikan tungku api, hasrat hatinya selalu menyala untuk berjumpa kekasih pujaan. Kepergian Satria yang tanpa kabar membuat Sang Putri menjadi gelisah , perahu jiwanya menjadi kandas diombang-ambingkan ombak kepedihannya yang menyayat.
Di ruang istananya Tiara terlihat gelisah, kecemasan meliputi hari-harinya yang kelabu. Telah lama ia tidak melihat keberadaan Satria ataupun kabar perihal dirinya. Dalam kerinduan tersebut ia menyadungkan suasana hati, Kepergian Satria secara tiba-tiba membuat Tiara gelisah. Putri nan cantik itu begitu mencemaskan nasib sahabatnya.
Berbagai kesedihan yang datang silih berganti, membuat gadis itu tampak lemah, wajahnya tak lagi bersinar, seperti sudah kehilangan semangat hidup.
Sejak Satria pergi, ia tak bisa tidur, tak lagi ia memiliki nafsu makan. Hanya Satria seorang yang ia pikirkan, lalu kenapa bunga-bunga cinta mesti layu disaat akar-akar itu telah tumbuh subur ditaman jwa? Apakah ada kata-katanya yang telah menjadi duri hingga menyakiti hati Satria?
Dalam keputusasaanya itu Tiara menulis untaian bait-bait syair disebuah lembaran kertas sebagai bentuk kerinduannya terhadap sang terkasih :
Dimanakah engkau kini?….apakah engkau tlah mendapat setangkai mawar pengganti diriku?. Apakah dengan mencampakkanku, engkau telah mendapatkan segala kebahagiaan serta kebebasan hasrat hatimu ?.Bila itu kehendakmu, betapa kecewanya aku. Sebab kau telah mengganti jubah keluh kesahku dengan keharuman jubah lain disisimu. Apakah kau kira dengan mendekap keindahan jubah itu, keindahanku dapat terganti olehnya?.Apakah kebersamaanmu dengannya kelak tercatat dalam kitab-kitab sejarah cinta?.
Seandainya saja keadaanku ini merupakan hati yang terpanggang tungku api sesaat dan juga sebuah kecumburuan yang salah, Lantas dimanakah letak kebenarannya?, dimana kuharus temukan segala jawab?. Berilah aku kepul asap kehidupan; sebagai tanda bahwa dugaanku salah, dan kau masih kekasihku yang setia !.
Wahai kekasih hati, tak sedikitpun ku berharap tuk memutuskan tali penyatuan kita. Engkaulah satu-satunya jiwa yang tlah terpatri didinding jiwa dan tak ada lagi jiwa yang dapat kupahat selain keberadaan dirimu.
Tahukah kau kekasih…Disaat cinta merentangkan sayap-sayapnya, mengepak dan untuk pertama kalinya membawaku terbang tinggi dalam genggaman cintanya yang tulus. Cintalah yang membawa kehangatan dalam kalbu, dimana jiwaku berselimutkan kasih dalam dekapan tulusnya.
Dalam sangkar sunyi abadinya itu, setiap merpati akan kedatangan seekor merpati yang datang dengan tiba-tiba, dimusim semi kehidupannya. Mengubah sayapnya yang patah dengan untaian indah mutiara sayap merak..
Takkala kutatatap cakrawala,kulihat sepasang merpati melintas tinggi, bermain dan meliukkkan tubuhnya dalam gumpalan awan.
Terlihat salah satu dari merpati itu bertengger ditepi dahan, menatap cerahnya langit dengan mata berbinar tanpa berkicau sedikitpun. Seolah cahaya matanya sedang menatap malaikat yang memainkan seruling surga dan menghembuskannya kedalam telinga hatinya, sehingga sang merpati tak perlu menambahkan sebuah keindahan yang memang sudah indah. Dengan siapapun aku berbicara….tak sedikitpun aku mempedulikan ucapan miring mereka; selain bisikan udara yang mengalunkan untaian indah syair-syairmu
Namun sayang !….sayapnya kini telah terluka dan terpotong. Seandainya sepasang sayap cinta itu masih berada dipunggungku, mungkin saat ini aku kan berada disampingnya, melantunkan syair kerinduan, mengepakkan sayap kasihnya tuk menyusuri awan keberadaannya. Bagaimanakah caranya kulepaskan sayap derita ini?, akankah ia dapat terbang bebas dari sangkar emasnya yang memenjarakan?,
Lihatlah aku sekarang….Bagaimana langit jiwaku dapat cerah kembali jikalau pasangan jiwaku kini menghilang laksana embun terpanggang surya..
Hatiku sesak kekasih!, kini tubuhku terhuyung bak mamanggul beban berat dipundaknya, tampak letih ia; menyusuri tebing harapan yang curam berkerikil, dan ketika kutiba diatas bukitnya tak kujumpai dirimu disana selain kabut kesia-siaan..
Kemana pandanganku mengarah tak sedikitpun ada sebuah bayang yang hadir selain dari bayang keberadaanmu disisi, sekalipun dengannya; kuharus berhadapan muka dengan tangan-tangan yang menunjuk dan menudingku dengan pandangan hina.….
Duhai betapa malam terasa panjang tanpa dirimu, betapa jiwa kian hampa dari hari ke hari.Laksana kain yang terkoyak ,dapatkah benang kesetiaan merenda kembali tali kasih kami yang telah lama tersulam?.
Kini langit tertutup mendung, kami tak dapat lagi melayang bebas, banyak kilat dan badai menahan laju sayap cinta kami.
Wahai penguasa langit, kini cerahkanlah kembali awan yang mendung itu, sapulah kepedihan hati kami dengan warna pelangi. Apabila mendung ini masih berlangsung lama, satukanlah tubuh dan jiwa kami tuk menghadapi bersama,
Jangan biarkan ketakutan-ketakutan malam dan pekik halilintar melepas genggaman kami dari penyatuan. Teguhkanlah hati kami dari kebimbangan, Bawa, tuntun dan angkatlah jiwa kami dari kegelapan , selimutilah kegelisahan kami dengan pancaran karuniaMu,
Anugerahkan dan perlihatkanlah pada kami kebesaran cintaMu, yang membawa kami untuk selalu mengingatMu.
Setelah menuliskan segala gundah hatinya Tiara tertidur diatas disebuah meja, tangannya yang halus dan putih terlihat kotor oleh percikan tinta.
Melihat putrinya tertidur ditempat yang salah, maka Ratu Nirmala mengangkat tubuh Tiara dan membaringkannya diatas peraduan. Sambil mengusap rambut Tiara dan mengecup keningnya Sang Ratu berujar :
“Tiara anakku, dikaulah wahai Tiara permata hati yang paling kukasihi !, dan kini telah beranjak menjadi gadis yang cantik dan dewasa, suatu hari nanti dirimu akan mejadi pemimpin dinegeri ini.” …
”Sampai kapan engkau akan seperti ini Tiara?!…sakit yang diderita olehmu telah membuat kami putus harapan,”…sambil mengusap-usap keningnya ia melanjutkan, ”duhai belenggu derita dan kemalangan apakah yang menderamu Tiara ?!” ….
”Ketahuilah anakku, pemuda yang engkau cintai itu tidaklah sepadan dengan kita dalam hal kedudukan dan martabat”.
“Lihatlah pangeran-pangeran dari kerajaan lainnya, mereka gagah-gagah, berprilaku menarik dan juga tampan. Banyak Pangeran yang menaruh hati padamu, namun mengapa engkau kunci hatimu dalam jalinan cinta yang buta, sebuah jalinan yang mendekatkan keluarga kita pada bara api ?!”…
”Bukalah hatimu, dengan cinta lainnya…bukalah matamu bagi keindahan kilau permata lainnya!”. “Kini malam telah larut; semoga Sang Pengasih menjagamu dari mimpi yang menyedihkan, serta memberikan kecerahan pagi yang akan mengangkatmu dari segala beban derita ini!”…”Selamat tidur anakku!”
Sambil merentangkan kelambu, Sang Ratu mencium kening Tiara, kemudian meninggalkan Tiara yang malam itu tampak cantik dan anggun dengan gaun tidurnya.
Dalam perjalanan waktu ternyata suratan takdir nan indah belum berpihak kepada keduanya, kuas-kuas cinta yang masih baru tentu tidak selentur kuas lama. Sapuan kuas warna-warni kebahagiaan ternyata tak semudah begitu saja untuk dibentuk dan diukirkan pada sebuah kanvas kehidupan, kadar cinta mereka masih diuji oleh Si Pemilik Cinta.
Sebuah kanvas yang putih, bila terlalu lama dibiarkan terbuka dan terkena sinar kelak akan menjadi kusam warnanya. Begitulah perumpamaan sebuah harga diri dan kehormatan yang apabila tak hati-hati menjaganya kelak akan mencorengkan arang dikening.
Cinta buta dua insan ini ternyata telah telah mencoreng kehormatan dan nama besar Bangsawan Ansaria, ketulusan cinta mereka tak sebanding dengan susahnya membangun serta menjaga martabat dan nama baik keluarga. Lebih baik memutuskan tali cinta merreka daripada menyuburkan pepohonan dengan dedaunan aib dan rasa malu. Itulah mungkin yang dipikirkan oleh beberapa kerabat kerajaan.
Dalam sebuah rumah kegilaan cinta, kedua pecinta berusaha melukis langitnya dengan warna-warni ungkapan hati. Suasana indah seperti itu menyebabkan kedua pecinta hanya memikirkan dirinya saja. Seolah dunia hanya memiliki dua warna dan hanya mereka berdua yang dapat menghiasi lukisan yang lain hanya sebagai pelengkap. Mereka tak sadar bahwa kisah kasih mereka, telah menjadi bahan gunjingan orang banyak.
Bagaimana tak tak terhina martabat seorang pewaris kerajaan bila selalu disebut-sebut namanya oleh orang yang telah lupa ingatan. Karena permasalahan itu, beberapa kerabat anggota dewan istana mengadakan pertemuan khusus dan berinisiatif untuk mengamankan pemuda itu, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Kita harus menemukan pemuda gila itu saat ini juga, untuk apa menunggu kehadirannya hingga jerami kesabaran kita menjadi hangus terbakar oleh ulah gilanya. Lebih baik menjemputnya segera mungkin dimanapun ia berada, walupun dengannya kita terpaksa mengotori pedang kemuliaan kita dengan darahnya.”
“Lebih baik kita menaburi beragam warna dan wangi bunga dipusaranya, daripada harus mencium hari-hari kita dengan hawa busuknya!”.ujar kepala dewan sengit.
“Tidak, wahai paman. Aku sama sekali menolak segala macam bentuk kekerasan !” timpal Raja Nalendra lantang. “Aku bisa memahami perasaan anak muda itu, karena kebeliaan-nyalah ia bersikap naïf…..rasanya hormatnya pada putriku, telah membuatku segan terhadapnya. Aku bisa merasakan hasrat dan jiwa yang bergelora dalam darah pemuda itu, dan aku memakluminya. Bukankah tentunya kita semua pernah menjadi anak muda ?!”…
”Biarkanlah ia bersyair tentang ihwal kecantikan putriku, biarkanlah ungkapan perasaan hatinya menari-nari dalam ruang khayalnya, biarlah ia lepaskan keharuman syairnya hingga tersiar kepelosok negeri, karena akupun menyakini dan percaya, bahwasanya Cinta dapat mendamaikan serta melunakkan jiwa yang keras hingga membawa ketentraman kedalam hati”.
Selang berapa lama setelah Baginda Raja mengeluarkan pernyataan, salah satu kerabat istana Adipati Arya beranjak dari tempat duduknya kemudian berkata dengan penuh keprihatinan,
“Wahai Yang Mulia Baginda Nalendra, tidakkah Putri Tiara melihat Pangeran-pangeran dari kerabat keluarga terdekat kita?, kalau kita lihat lebih seksama mereka tak kalah gagah dan cerdas, bahkan tak sebanding dengan pemuda gila itu bila dipandang dari sisi kemuliaan, apa jadinya bila negeri tetangga kita menyaksikan dan mendengar calon pewaris kerajaan, menjalin tali kasih dengan pemuda yang bermartabat rendah serta tak jelas nasab keturunannya.”
Sambil menundukkan wajah penuh keprihatinan, Adipati Arya melanjutkan pendapatnya, “Bila lambat laun bunga kian merekah serta menebarkan pesona harumnya, hendaknya ia memiliki kepribadian yang indah pula. Karena hanya dengan indah kepribadiannya itulah; ia dapat memagari dirinya dari permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh kecantikannya”….” Dan tentunya kita tak ingin menjadi bahan tertawaan serta gunjingan mereka serta menentang tradisi yang telah dipegang teguh oleh para leluhur kita bukan ?!” ujar adipati arya sambil merentangkan tangan dan menggeleng penuh tanya.
Raja menyimak pendapat gubernur Arya dengan hikmat, dengan kelembuatan hati serta kebijaksanaan seorang raja ia lalu berkata,
“Hati yang tercerahkan oleh cahaya Cinta, lebih berharga daripada semua kilau permata di dunia.
Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit . Dan Tak seorang pun dapat mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh Cinta.
“Dan aku rasa obat bagi sakitnya Tiara adalah Satria itu sendiri, begitu juga sebaliknya”.ujar Baginda raja sambil tersenyum simpul.
“Ketahuilah wahai abdiku semua ‘kekuatan ajaib” -ada dan tercipta karena dorongan Cinta.
Betapa seorang induk ayam akan bertarung mati-matian dengan rubah demi mempertahankan kelangsungan hidup anaknya.
Betapa ruang waktupun takluk dalam genggaman cinta, pernahkah kau rasakan ketika kekasih berada disisi?. Satu hari berpisah dalam Cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun bersama Kekasih terasa hanya sehari. Perjalanan ribuan kaki terasa hanya beberapa kaki, dan beberapa kaki terasa ribuan kaki tanpa kehadirannya..
Dalam kesadaran Cinta. bentuk Cinta yang paling hakiki adalah Cinta kepada-Nya sebagai bentuk total penyerahan diri terhadap Sang Penggenggam Hidup, sedang cinta pada insan dan alam semesta menciptakan keadaan surgawi- apabila berlandaskan Cinta ; menjadi kabut duniawi bila menjelma hasrat nafsu”.
“Aku tak pernah tahu seberapa kerasnya hati ini, apakah sekeras baja?….bila ya,maka aku akan mengharap api cinta melelehkannya hingga ku dapat membentuk dan menjadikannya kembali dingin. Bila hatiku selembut lilin yang mudah meleleh ketika tersentuh api maka kuyakin dengan sumbu yang ideal,maka kudapat mempertahankan nyalanya hingga habis terbakar……Ataukah hatiku seperti kertas? Menyala dengan cepat lalu menjadi asap sekejap”.
“Dalam keheningan ini, kuingin kau tahu bahwa Cinta-Nya pada kita laksana bara api yang saling terkait , yang terangnya adalah cahaya atas cahaya. Bila api cinta ini menyala, maka Sang Terkasih akan menerangi jalan dan kegelapanpun lenyap.
Mungkinkah kita dapat mempertahankan api cinta kita, untuk tetap menyatu dalam cahaya keterpisahan-Nya?”….
Kala jiwa terbangun dalam keterjagaan malam, Pernahkah jiwa bertanya : “Mengapa tiba-tiba hati ini selembut kapas?!”,….”Sihir macam apakah yang melemahkan kemudaan dari bahu dan mematahkannya hingga hancur berkeping-keping?!”…
Tolaklah kenyataan ini, maka retaklah cermin itu, bukankah merupakan kesia-siaan belaka, seumpama wajah rupawan berkaca pada cermin yang retak ?. Dan Bagiku jiwa yg resah…. dapatkah jiwa memandang diri sebelum memandang orang lain?!…..dan dapatkah kau bangkit dari kematianmu sebelum kau menuju pada kematian yang sesungguhnya?!”……
Konon rahasia setiap pencapaian dalam setiap agama dan mistisme adalah Cinta. Konon tanpa Cinta sang pencari akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu kesadaran.
Laksana “mata ketiga”, pesan telepati yg disampaikan kepada kekasih menghadirkan bunga-bunga Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta, semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang Dia yang dicintainya.
Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangan-Nya yang tertutup oleh pandangannya. Cintanya sendiri adalah Cermin pemantul bagi bayang yg bercerita tentang diri, ,orang lain serta lingkungan yang dikasihinya.
Dan aku menyadari tiada daya yang lebih besar daripada Cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam hati.
Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam Cinta!
“Saudara-saudara biarlah waktu yang berbicara, biarkan putriku mencari jawaban akan cintanya sendiri sesuai keyakinan yang ia percaya, lagipula terlalu dini untuk merisaukan segala prilakunya. Bukankah putriku belum matang seluruhnya, ibarat bunga ia belumlah merekah seluruhnya!”.
Sekali lagi dengan hormat kutekankan, bahwa aku tak mengharapkan adanya kekerasan disekitar kehidupan rumahtanggaku, marilah kita bersikap bijak dan janganlah kita mengotori cermin kebebasan kita, melainkan singkaplah tabir ini yang menutupi pantulan Cahaya indahnya , lalu raihlah jemari kebebasan itu dalam naungan tuntunan cahaya kasihnya.”…..sambil menghela nafas yang dalam Baginda Raja berkata,
”Dan jangan pula menempatkan dosa-dosa kita disudut-sudut gelap kehampaan diri, berkaca dan ambilah pelajaran.darinya kemudian nilailah keburukan itu sebelum kita menilai keburukan orang lain.
Sambil mendekat kebeberapa kerabat dan mendekap erat bahunya, beliau berujar kepada salah seorang diantara,….
“Ketahuilah wahai abdiku; hanya dengan tuntunan hati nuranilah maka kita akan hidup dalam kedamaian. Hati nurani adalah ruh dimana kehendak Tuhan bekerja dalam diri manusia, hanya dengan hati yang bersih saja kita dapat menyatu dalam perbuatan-Nya yang suci serta penuh kebaikan.”
Sambil merentangkan tangannya,ia melanjutkan “Lebih baik kita utamakan dahulu masalah pemberontakan yang terjadi dipropinsi kita !”
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Benny Hidayat