Disebuah gubuk reyot , dan nyaris roboh diterpa angin- terbaring seorang lelaki sekarat,
menatap cahaya suram dari sebuah lampu yang bertempur melawan kegelapan….
Ia adalah seorang penyair yang terbaring sekarat ; kelaparan ; dikota yang hidup dan kaya.
Dia menghela nafas-nafas penghabisannya, sementara tiada seorangpun yang menemaninya kecuali lampu minyak , satu-satunya pendamping yang ia miliki dan lembar-lembar kertas yang diatasnya terdapat lukisan hati yang ramah.
Dengan sisa-sisa tenaga yang kian menyusut, dia mengangkat tangan kearah langit dan menggerakkan pelupuk matanya yang lemah seolah penglihatannya yang kabur akan menembus atap gubuk kumuh itu.
Dia berkata : “Datanglah kini wahai maut yang cantik, karena ruhku rindu padamu, karena aku begitu lelah …bebaskanlah diriku dari masyarakatku yang terasing ….
Cepatlah menyabut ruhku wahai kesunyian yang agung…. karena mereka menolak aku, dan membuang diriku karena aku tak mau menindas yang lemah sebagaimana yang mereka lakukan, karena aku berbicara dengan lidah malaikat dalam bahasa manusia.”
Datanglah dengan jemari kelembutanmu, dari bibir yang tak pernah merasakan ciuman seorang ibu, pun tidak pernah menyentuh pipi perempuan, pun tidak pernah merasakan bibir kekasih tersayang. Cepatlah dan peluklah daku, wahai maut kekasihku.”
Kemudian disamping ranjang pemuda sekarat itu berdiri bayangan seorang bidadari dengan kecantikan surgawi. Dia memeluk pemuda itu dan memejamkan matanya sehingga pemuda itu tak bisa melihat apapun selain dengan mata hatinya.
Bidadari itu mencium bibirnya dengan ciuman cinta kasih, sebuah kecupan kebahagiaan surgawi yang takkan terlupakan bagi pemuda sekarat itu.
Dan pada saat itu gubuk menjadi kosong kecuali lantai tanah , dan sobekan kertas yang berisi ratapan derita sang penyair.
Beratus-ratus tahun kemudian , ketika penduduk kota itu tersadar akan kebodohannya , kala mereka terjaga dan matanya menyaksikan fajar pengetahuan , mereka mendirikan sebuah monumen sebagai tanda bagi sang penyair , ditaman paling indah yang ada dipusat kota . Setiap tahun mereka menyelenggarakan pesta rakyat untuk mengenang sang penyair, yang tulisan-tulisannya telah membebaskan mereka.
Oh, betapa mengerikannya kebodohan!.
Hartono Beny Hidayat Elaboration with KG
www.duniasastra.com