Aku adalah ibunda kemalangan yang menangisi -tunas kehidupan yang disapihnya dulu….
Aku adalah seorang ibu bumi yang bibirnya kering memohon cahaya keadilan,namun tangannya tak pernah sampai menjangkau langit.


Aku bagai seorang ibunda kegetiran, yang menjulurkan mangkuk sedekah- sambil memangku anaknya yang sekarat menahan lapar.


“Aku menangisi negeriku…karena ia melupakan orang yang miskin dan tertindas…”ujarnya lirih.


“Aku menangisimu tunas kecilku,karena aku sempat mengharapkannya kelak tumbuh menjadi pohon kehidupan yang berguna bagi sesama…tempat bernaung dan berteduh bagi jiwa yang letih”….


‘Dahulu aku pernah mengaharap pada langit ,agar selalu memberikan curahan karunia dan kasih sayang padanya”… ”Namun sayang angin kehidupan berlawanan arah dengan dengannya,Sang tunas kecil tertindas dan tak mampu melawan,ia berusaha kembali bangkit,namun apalah daya,jemari kecilnya tak berdaya menghadapi itu semua….”


Dari balik kerudungnya, ia tenggelam dalam pusara kegetiran. Sesekali ia tampak termangu, wajahnya dingin tanpa ekspresi,tatapannya kosong seolah tanpa harapan ….


Ia tidak lagi peduli terhadap awan hitam yang menutupi wajah cantiknya.
Kian hari tubuhnya semakin kurus. Pakaian kehormatannya semakin lusuh dan compang-camping terkoyak jari-jari keserakahan.
Suaranya kian parau berteriak menahan kesakitan , namun tiada jiwa yang peduli dan mendengar keluh kesahnya…..


Dari balik kerudungnya yang tipis,tampak airmata basah menetes membasahi pipinya yang tirus,tangannya tampak menghapus airmata yang berderai namun tidak dengan luka bathinnya…..

Hartono Benny Hidayat
www.duniasastra.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *