Airmataku menitik dari kelopak jiwa , menetes deras menggenangi tanah kering berduri,
Aku dapati bangsaku tertatih menahan lapar , dari sebuah negri yang kaya akan madu dan susu.
Aku saksikan dengan mata rahim kesedihanku, anak-anak negeri mati ditanahnya -yang penuh berkah ilahi.
Aku katakan padamu , apa yang dapat dilakukan- anak terbuang untuk bangsanya yang sekarat ?
Apa gunanya bagi mereka ratapan tangis seorang penyair yang tidak memiliki tempat untuk berpijak ?
Aku dengungkan hatimu dengan suara lirih , “dimana wujud mu berada wahai nurani?!’….’sudah matikah engkau diistana kehampaanmu ?”….
Ku coba menggetarkan semangat dari bahumu ,sekedar untuk membangunkan sukma agung- yang tertidur pulas dikedalaman jiwa setiap mata hati anak negeri…
Kini kutersadar dari keprihatinanku yang sia-sia , karena semua takkan mengenyangkan rasa lapar bangsaku, dan airmataku takkan menghilangkan dahaga anak-anak negeri…
Aku terjaga dari pembaringanku yang getir….wahai bumi , air dan benih yang ada digenggamanku….berjanjilah padaku bahwa engkau senantiasa hidup, dan bersama-sama tunas-tunas hari depanmu , selamanya bersemi ditanah ….tempat ari-ariku terkubur…..
Wahai kesegaran pagi yang menyejukkan, katakan kepada bangsaku, bila benih ini telah menghasilkan buah kehidupan, kuingin mereka senantiasa memenuhi genggamannya secara wajar… katakan juga pada bangsaku, agar saling berbagi benih , menyirami tunas dan menjaga kesuburan ladang-ladang ilahi dari ketamakan …
Aku titipkan negeri miskin ini padamu semesta, dari negeri ku yang kaya raya….negeri seorang penyair.
Hartono Beny Hidayat,
1998 www.duniasastra.com