Cinta menulis surat ghaibnya untuk ku dan ia menulis syair-syair indah, gambaran mata hatinya:

“Saat cinta berkunjung ,aku tak tahu harus berbuat apa….

Dialah si-Jiwa misterius , yang terus menghantui dan selalu bernyanyi bagi jiwa sepiku…

Ia setia melantunkan senandung surgawi didepan pintu jiwaku….walau dia tahu pintu itu takkan kubuka untuknya…dengan ketulusan hati….ia membacakan syair cantiknya sebelum ku tertidur… www.duniasastra.com

‘Wahai Mahadewaku…syair-syair cinta telah pergi dan berlalu dari jendela kamarku. Tapi aku masih tak tahu apa sesungguhnya cinta itu.’

“Ketika kau datang membawakan sekuntum bunga, aku kira itulah cinta. Ternyata salah. Aku rasa kau hanya bermaksud menitipkan sekuntum mawar yang terjatuh dari sepeda seorang penjual bunga yang lewat didepanmu.’

‘Dari kebingunganku itu….aku ingin engkau percaya-bahwa dirimu tetap tinggal dihatiku…aku tak dapat begitu saja memusnahkan kau dari jiwaku…kau telah menggengam hatiku, dan engkau telah menenggelamkan perasaanku dilautan yang tak bertepi dan tak berbatas…’

Duhai Mahadewaku….dirimu selalu kukenang …. wujudmu tetaplah abadi…..walau engkau tahu hati ini telah tertambat dengan hati yang lain…..kuharap engkau takkan pernah kecewa, maka maafkanlah aku dan selamilah nestapa cintaku, dapatkah kau rasakan perasaan seorang gadis yang terperangkap dari seorang lelaki yang mengasihi dan lelaki lain yang mencintainya?! ……’

“Duhai pelangi….kadang-kadang aku mengharap jendela kamar ini ditebali dan diselubungi debu pekat agar cahaya mataku tak terlihat orang-orang yang melintas didepannya….Aku tak ingin menciptakan luka pada setiap jiwa-yang ingin sekedar mampir menghampiri jendela itu, seraya mengulurkan sesuatu yang membesarkan hatiku, tanpa tersadar aku telah memulai menghiasi matahatinya dengan kekecewaan….dengan lirih dan suara yang bergetar kuharap semilir angin akan mengabarkan semua rahasia hatiku padamu…..”

Dari kastil yang berselimutkan kegelapan…terlihat sesosok penyair muda sedang meratap dari sebuah dinding megah yang dipenuhi puisi -perlahan dinding-dinding megah itu terbakar dalam kobaran bara api asmara…dia merentangkan tangannya , dan berteriak sekeras-kerasnya dari setiap ruh kelam yang mengelilinginya , tubuhnya terjatuh lunglai diatas abu kertas kehampaannya, dibiarkan olehnya sukma agung melayang-layang mencari separuh jiwanya yang hilang……

Dengan jemari gemetar dan lemah, sang penyair meraih pena lalu ia membalas surat itu….

“Duhai Mahadewiku…dikeramangan ini…bersama ribuan lilin jiwaku terbakar perih…..aku sangat kesepian…..berabad-abad aku hidup diatas atap kastil ini, tanpa sebuah pemahaman- melakukan apa atau menunggu siapa…..kini racun itu telah mengalir dan menyebar dalam darahku, aku merasakan lumpuh yang sebenarnya lumpuh….tubuhku terkapar diatas abu pembaringanku sendiri….aku tak dapat meggapai kembali bayngan ganjil serta inspirasiku itu, dan kini mataku menjadi buta, aku tak dapat membaca lagi , serta menggenggam lembaran puisi yang pernah tercipta itu…’

“Kini semuanya sedang terbakar, bunga-bunga api telah memandikan tubuhku yang tergolek lemah diatasnya….dari kobaran api dan kepungan asap yang membalut ragaku, aku tetap mencoba menulis kata-kata terakhir untukmu, kutoreh dan kutulis diatas kulit ariku yang melepuh dan terbakar ‘…..

“Seandainya kabut hitam telah menutup matamu sehingga dirimu tak mengetahui diriku yang sedang meregang nyawa diruang kehampaanku ini, setidaknya langit telah mendengar serta mengukir kisah sedihku ini , dan telah kutitipkan senyum serta kerlip terakhir untukmu pada bulan dan bintang…. Secepat mungkin kutuangkan segala , sebelum aku binasa dan runtuh bersama mahkota duriku ini dan kuyakin senandung malam akan mengabarkan semuanya kepadamu….kisah seorang pujangga pencari cinta sejati…dari jemariku yang terbakar dan luka yang tersayat -kukembali menulis rintihan suara hati….”

” Duhai kekasih hati , …”

“Aku mendamba kala kelopak mataku terbuka kuingin kau disana , duduk disampingku seraya membawakan senyum dan setangkup rindu….”

” Hanya untukmu seorang , seluruh kerinduanku , mimpi-mimpiku , tangis – tawaku, syair -syair dan doaku – kubingkai dalam lautan bahtera jiwa…karena engkaulah lautan tempat segala bahtera keinginan bermuara.

Kini hatiku telah binasa , luluh lantak bersama istana kebesaranku….”

Dari puing-puing kehancuranku aku menceritakan padamu , dikala ku mencintaimu dengan sepenuh hati, hatiku telah menciptakan kedalaman samudera yang nyaris sama dengan kedalaman jiwa.”

Engkaulah inspirasi bagi seekor merpati untuk berani melintasi awan putih guna menjemput kekasih impian.

Apakah cintamu masih bersemayam dalah sanubariku ?!….atau rasa sakit itu semakin lama semakin mengaburkan rasa cintaku darimu?!”…..

Tidak !…Aku tetap mencintai dan setia menunggumu hingga ajal menjemputku!….

Aku tetap menyakini sesuatu yang hidup didalam raga ini adalah cinta sejati.

E ngkaulah yang menghadirkan cinta dalam hatiku, dan menjadikanku sebagai tawanannya.

Hanya engkau seorang dan satu-satunya Dewi cinta yang memahami – rahasia malam dan siang jiwaku…

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan hari ini , tanpa kehadiranmu disisiku…

Engkaulah Mahadewi tercantik dan termegah yang pernah kutaklukkan,

Kau tak seperti “Dewi-dewi” yang lain , yang singgah diistana jiwa ku , hanya untuk menikmati pijar mataku beberapa menit sebelum meraka pergi.

Ketika istanaku tertutup ilalang yang lebat dan nyaris tertelan bumi ,aku terpaksa menyanyikan senandung dan elegi cinta dengan keras membahana- berharap kelak ada sebuah pancaran matahati yang mengetahui keberadaanku disini, kemudian mengangkat jiwaku dari kegelapanku yang tak bertepi dan berdasar…..

Dan ternyata engkaulah – seseorang yang mengetahuinya.

Kau yang mengjhias istanaku dengan warna indahmu , kau yang bersihkan istanaku dengan hujan berkah yang turun dari kesucian langit….

Engkaulah yang mengelap kaca pekatku, hingga jendela kastilku kembali bening,

Kau singkapkan ilalang dari istanaku dengan kelembutan jemari-jemari cintamu yang berapi, lalu kau hidupkan beragam bunga diladang-ladangnya….

Bahkan kau telah bukakan pintu yang dulu kututup rapat, untuk melewatinya dan……tiba-tiba kita sudah bergenggaman tangan …..

“Duhai cinta, aku menginginkan dirimu sebagai matahari yang menyapa hangat relung jiwaku…..Engkaulah mata air kerinduanku , yang dengan kesegerannya telah cukup menghilangkan dahaga jiwaku”

” Aku berjanji akan meletakkan jiwamu diantara keterjagaanku yang satu dengan keterjagaan yang lain,

Digelap dan diterangku – jiwamu akan kusandingkan,

Dari setiap mata hati yang melihat dan menyapa dirimu -parasmu kuhias dan kuletakkan sebagai cerminan mata hati , karena kita telah sama-sama belajar menjadikan hati sebagai cermin,

Setiap pagi aku membukanya …berharap kicauan pipit mengabarkan hikmah perjalanan kisah-kasih abadi kita – kepada setiap jiwa yang melintas “

Perlahan api dalam kastil semakin berkobar….terlihat kedua mata kaki sang pujangga telah terluka terbakar bara api…dengan lirih serta menahan sakit yang teramat, ia kembali menuliskan kisah kasihnya…..

‘ Airmataku mengalir jernih dari kelopak jiwa , seakan menyambut cengkeraman kuku-kuku maut, hanya sempat kurasakan dari ketidak-sadaranku kedua tanganku membentang seolah ingin menggapai langit….”

Sorot mataku tajam , sekan menembus atap kastil…

” Duhai matahari bakarlah gelora cinta dalam diriku….bakarlah hingga mengabu serta tertiup angin nan kelam !……”

” Angkatlah aku wahai kematian dari siksa ketersendirianku yang amat mencekam ! …”

” Wahai maut , bidadari cantik pendamping hari akhirku ! …Kudapati setiap merpati datang -kembali pergi, dan aku sendiri lagi….Dimanakah kekasihku , wahai maut yang lembut !…yang akan menerangi dan menjadikan pelita bagi tiap jejak langkahku?!….”

“Luka ini telah mengoyak bathinku, darah mengalir deras dari ruang biliknya….kini rasa cinta yang membawa ruhku terbang mengembara lepas , tak lagi berdiam di dalam kastil jiwaku …”

” Kini aku bagaikan ulat-ulat yang hidup dari seonggok mayat , aku tak dapat lagi mencium keharuman bunga serta keindahannya !”……

“Jasadku terbujur layu dan terbakar….jiwaku memelas meninggalkan raga penyair muda itu….”

” Dengan hening , jemari maut mengangkat perlahan-lahan ruhku hingga terlepas dari raga , ruhku pun melayang-layang meninggalkan jasad yang ada didepannya , ingin kusentuh wajahnya untuk terakhir kali, namun apa dayaku -ku tak dapat merasakan kelembutan bibirnya , yang kini tersisa hanyalah asap duka dan bara api kesia-siaan…..”

Tiba-tiba saja hujan datang dengan goresan kilat yang bergemuruh…kini semua telah sia-sia….hujan tak mampu lagi memadamkan api….praaahara dan badai telah meruntuhkan mahkota duri dan istana jiwa nya- yang kini menyatu dalam pelukan bumi

Tinggalah rintik-rintik hujan , diam menyenandungkan airmata kesedihan….

Malam berganti siang…siang berganti malam….abu jenazahnya perlahan-lahan hilang tersapu angin….

Angin bergolak mengabarkan cerita duka, tentang kematian seorang pujangga cinta , hembusannya mengalir kencang hingga pelosok negeri….

Tersadarlah para pengagung cinta dari keterjagaan mereka , kini telah kehilangan untuk selamanya sebuah “Lentera” yang mengajarkan mereka perihal hakikat cinta sejati…

Dibangunnya tugu peringatan diatas reruntuhan kastil tempat pembaringan abadi sang penyair….

Beragam muda-mudi setiap tahun merayakan indahnya cinta dan kasih sayang, diatas reruntuhan kastil itu …..berharap cintanya selamanya abadi ….

” Oh, betapa ironi dan malangnya nasib cinta sejati itu……diatas puing-puing kehancurannya sendiri , beragam wujud cinta sedang bersemi….dan guratan-guratan waktu telah membuktikan : Kematian cinta sejati adalah awal keabadiannya !”

  • the end –
    Hartono Benny Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *