www.duniasastra.com

Kulihat bangsaku perlahan telah mati nuraninya, karena lapar saling menyikut dan menindas…siapa cepat dan kuat dialah pemenangnya…

Aku tertegun dan terpana semua ingin diraih, tak pernah ada kata puas….seakan yang hidup bergabung dengan yang mati demi sebuah ambisi.

Aku menyaksikan wajah-wajah yang tak kenal rasa malu, yang menutupi matanya dengan debu-debu emas yang memantulkan gemerlap cahaya teplok- airmata derita .

Kulihat pula derai tawa – tak berdosa sembunyikan tangis bayi dari bilik kardus bawah kolong jembatan; suara tangisan yang mengharap susu manis dari kedua tetek kering ibunya, tarikan nafas kegetiran yang menanti matangnya bebatuan didalam kuali ; serta Jeritan nafas kemiskinan yang membuat seorang ibu tega meletakkan anaknya dalam kardus- tepi sungai.

Tak ada bedanya aku, kamu dan mereka…karena nuranilah kita berbeda- karena kejujuranlah kita jadi mulia. sadarkah engkau bahwa orang mulia sekalipun-tak jarang dari mereka adalah keturunan darah penjahat !.
Aku muak dengan kapitalis karena ia merupakan raksasa tak berkaki serta berotak anak ayam, jelmaan lintah yang tak pernah kenyang. Aku; kamu; dan mereka semua; bayi-bayi ini, serta para pewaris bangsa…mereka adalah para pewaris yang terpasung dan terkekang, karena kemiskinan telah merantai tangan-tangan dan tubuh mereka dalam belenggu kebodohan.

Aku bukanlah seorang provokator, atau anarkis bukan pula komunis, aku mengajarkan kepada mereka tentang Tuhan, dan ketika mereka marah meradang , aku redam mereka dengan akal dan nurani, Aku seorang motivator , sekaligus orang yang terpasung, roda-roda kehidupan kudapati berlawanan arah denganku, ia melindas dengan angkuh setiap benih yang kutanam dan hendak bertunas.

Dan aku melihat disana, dibalik tumpukan sampah ada budak sedang tertidur , aku tak ingin membangunkan dia kalau-kalau ia sedang memimpikan “kebebasan.”

Bila ia telah terbangun akan aku jelaskan tentang arti kebebasan kepadanya.

Tapi aku juga mencintai para budak itu, seperti cintaku pada kebebasan, sebab mereka mengecup dengan mata tertutup taring binatang buas dalam hening ketidaktahuan, tanpa tahu senyum maut yang menunggu, dan tak pernah menyadari, sedang menggali kuburan dengan tangan mereka sendiri.

kehidupan berbangsa laksana sebuah kursi singgasana, bila rusak atau patah sebagian maka pincanglah sebuah bangsa.

Dan Matilah sebuah bangsa bila hukum dapat dibeli dengan uang, serta para pemikirnya membiarkan kebohongan sedangkan ia mengetahuinya -kemudian karena sesuatu hal ia hanya diam terpaku , lalu menyerah dalam kubangan belenggu yang bernama kekuasaan.
Hartono Beny Hidayat hasil elaborasi dengan KG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *