Dalam perjalanan tanpa akhir, Ketika segala resah merasuki dan menyelimuti diriku,
Aku hanya bisa menahan nafas , jiwaku merintih dan terkapar, menggigil dalam kebisuan malam
Aku hanya terdiam, aku mengharap kehadirannya merupakan suatu perjalanan “terakhir” yang singgah distasiun hatiku.
Aku melihat ‘kereta tua’ itu telah letih, seolah semua rel ia telah dilintasi, seolah segala rute perjalanannya berlalu tanpa irama,
Melintas dan hanya melintas, tanpa ada tiupan masinis, ataupun derai tawa bocah yang mengiringi perjalanannya.
Entah kenapa ‘kereta’ itu kini hanya ingin dilihat,
ia mengharap suatu saat kelak- masuk museum,
Walaupun sekiranya terkurung dalam ruang yang terbatas namun ia memiliki teman, bersama kereta lainnya yang lebih dulu ada- mereka saling berbagi tempat dan cerita.
Ketika aku sedang berada distasiun, aku bercerita dengan kereta lainnya,
“Aku lelah mengangkut segala tentang ‘ada’ ataupun ‘tak ada’ dari seorang manusia”.
“Aku mengharap didepanku merupakan sebuah stasiun terakhir tempat dimana ku dapat beristirahat dan singgah dalam waktu lama”.
Kemudian kereta lain berujar; “kenapa engkau berpikir begitu ?!, tidakkah perjalananmu telah menghidupi banyak orang, engkau memberi tempat dan nafkah bagi segala jenis manusia”
‘mulai dari golongan pekerja, copet, pengemis dan pedagang’….
”Mau engkau kemanakan mereka bila kau tak ada?’…’apakah ada kuburan yang siap menampung mereka lebih dini- lalu menafikan dari takdir yang telah digariskan ?!’…’ dan ketahuilah kehidupan adalah berjalan diatas rel yang bernama takdir’,…’ tekadlah yang bisa melawan kuatnya derasnya hujan dan hembusan angin ketika engkau melintas, atau mungkin kau tak dapat menghitung berapa kali engkau kelilipan debu, demi mencapai asa dan cita”.
Tubuh serta jiwamu terbuat dari baja!…tabraklah angin sebanyak yang kau mau…
Salamilah kesetiaan matahari yang telah menyinari perjalananmu…
Tersenyumlah laksana pelangi sekalipun harus merangkak dalam selubung kabut
Jadikan akal dan nurani penuntun perjalananmu, Bersuaralah dengan lantang, sekalipun jeritan halilintar membahana membelah kesunyian langit…
sambutlah pluit masinis dan lambaian tangan calon penumpang ; mereka ada untuk kita, dan kita ada untuk mereka…begitu juga
kehidupan bebannya adalah ujian , rutenya adalah cita, relnya adalah takdir.
Dan janganlah lupa dengan 1% yang bernama :
‘ Keajaiban kereta !’ ”…
“Yaitu rangkaian Batu ataupun bunga yang dilempar kekita ketika kita sedang melintas !”
Wahai temanku sesama kereta, seantiasa tertawakanlah kepedihan itu- jadikanlah dia ‘saudara kembar‘ kebahagiaan . Sambutlah kedatangannya karena ia telah lama pergi merantau dan kini telah kembali membawa karung-karung rindu.
Dia menunggu kita diujung stasiun, ayo kita jalan lagi mengarungi penziarahan hidup !”.
Aku jadi teringat kata-katanya , kereta bijak itu…
Salamilah kesetiaan matahari yang telah menyinari perjalananmu…
Tersenyumlah laksana pelangi sekalipun harus merangkak dalam selubung kabut
Jadikan akal dan nurani penuntun perjalananmu
Bersuaralah dengan lantang, sekalipun jeritan halilintar membahana membelah kesunyian langit…
‘Zes-zes …zes-zes…tutttttttttttt !..”
Lalu aku menengadahkan wajahku kematahari dan aku berteriak : “inilah diriku !”
Hartono Benny Hidayat
www.duniasastra.com